Rabu, 14 September 2016

Apa sih Internet of Things itu ??

        Casagras (Coordination and support action for global RFID-related activities and standardization) mendefinisikan Internet of Things sebagai sebuah infrastruktur jaringan global, yang menghubungkan benda-benda fisik dan virtual melalui eksploitasi data capture dan kemampuan komunikasi. Infrastruktur terdiri dari jaringan yang telah ada dan internet berikut pengembangan jaringannya. Semua ini akan menawarkan identifikasi obyek, sensor dan kemampuan koneksi sebagai dasar untuk pengembangan layanan dan aplikasi kooperatif yang independen. Ia juga ditandai dengan tingkat otonom data capture yang tinggi, event transfer, konektivitas jaringan dan interoperabilitas.
        Sedangkan menurut SAP (System, Anwendungen and Produkte) adalah dunia dimana benda-benda fisik diintegrasikan ke dalam jaringan informasi secara berkesinambungan, dan dimana benda-benda fisik tersebut berperan aktif dalam proses bisnis. Layanan yang tersedia berinteraksi dengan “obyek pintar” melalui internet, mencari dan mengubah status mereka sesuai dengan setiap informasi yang dikaitkan, disamping memperhatikan masalah privasi.
        Dan secara singkat Internet of Things dapat diartikan sebagai benda-benda di sekitar kita yang dapat berkomunikasi antara satu sama lain melalui jaringan internet.


        Metode yang digunakan oleh IoT adalah nirkabel atau pengendalian secara otomatis tanpa mengenal jarak. Pengimplementasian IoT sendiri biasanya selalu mengikuti keinginan si developer dalam mengembangkan sebuah aplikasi yang ia ciptakan, apabila aplikasinya itu diciptakan guna membantu memonitoring sebuah ruangan maka pengimlementasian IoT itu sendiri harus mengikuti alur diagram pemrograman mengenai sensor dalam sebuah rumah, berapa jauh jarak agar rungan dapat dikontrol dan kecepatan jaringan internet yang digunakan. Perkembangan teknologi jaringan dan internet seperti hadirnya IPv6, 4G, dan Wimax dapat membantu pengimplementasian IoT menjadi lebih optimal, dan memungkinkan jarak yang dapat dilewati menjadi semakin jauh, sehingga semakin memudahkan kita dalam mengontrol sesuatu.
        Contoh sederhana implikasi dari IoT ini misalnya kulkas yang dapat memberitahukan kepada pemiliknya via SMS atau e-mail tentang makanan dan minuman apa saja yang sudah habis dan harus di stock lagi. Sedangkan dalam industri, peralatan-peralatan dapat dirancang untuk memberikan informasi mengenai kondisinya. Misalnya ada peralatan yang membutuhkan bahan bakar, dan peralatan tersebut memancarkan informasi status bahan bakarnya secara periodik ke suatu peralatan lain melalui jaringan internet. Dalam aplikasi rumah tangga, saat kita belok ke halaman depan rumah kita, garasi langsung terbuka, pada saat garasi terbuka, lampu ruangan dan AC akan langsung menyala.
        Dengan adanya konsep IoT ini, bahwa segala sesuatu akan dihubungkan dengan internet untuk memaksimalkan konektivitas internet, selain itu juga bertujuan untuk memaksimalkan kinerja seluruh benda yang sudah terhubung dengan internet tsb, dengan begitu kegiatan manusia pun akan lebih mudah dengan bantuan benda tersebut.
        Pada hakekatnya, benda internet atau Internet of Things mengacu pada benda yang dapat di identifikasikan secara unik sebagai representasi virtual dalam struktur berbasis internet. Istilah IoT ini awalnya disarankan oleh Kevin Ashton pada tahun 1999 dan mulai popular melalui Auto-ID Centre di MIT.
        IoT selain memiliki berbagai dampak positif, akan tetapi juga memiliki dampak negative, salah satu dampak negative yakni bagi kehidupan yang mengkhawatirkan, banyaknya kejahatan cyber yang semakin meningkat. Contoh kejahatan cyber yang banyak terjadi di kehidupan masyarakat adalah kmampuan untuk merusak benda yang berhubungan dengan internet melalui kiriman virus yang dapat merusak benda tersebut. Dan contoh kejahatan lain yang lebih berbahaya misalnya penyusupan atau pengintaian melalui internet. Yaa memang segala sesuatu yang memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif !!

DAFTAR PUSTAKA

Rabu, 07 September 2016

Masyarakat Informasi

Istilah masyarakat informasi mulai marak sekitar tahun 1980-an, sesaat setelah berkembang teknologi informasi (Basuki,1999). Menurut pandangan John Naisbitt seperti yang dikutip oleh Selo Sumardjan (1989) dalam Wiyarsih menyatakan jika jumlah pekerja ”whitecollar” (krah putih) yang bekerja dengan bahan-bahan informasi lebih besar jumlahnya disbanding pekerja” blue-collar” (krah biru) yang memproduksi barang-barang fisik dan jasa dalam industri, masyarakat tersebut dapat disebut sebagai masyarakat informasi. Sedangkan menurut Ronfeld (1992) menyatakan bahwa masyarakat informasi merupakan masyarakat yang menunjukkan batas yang semakin kabur antara perangkat keras komputer, system berkomunikasi dan satelit komuniksi, jaringan global dan sebagainya (Sulistyo-Basuki,1999). 
Menurut Ahmad Djunaedi dalam Wiyarsih, didalam masyarakat terdapat tiga tingkatan dari aspek informasi. Tingkat pertama ialah masyarakat sadar informasi, yaitu masyarakat yang sudah sadar bahwa informasi diperlukan untuk meningkatkan daya saing (untuk maju), misalnya masyarakat petani yang pada saat menjelang panen mereka mencari informasi harga tentang harga-harga jual diberbagai pasar. Tingkat kedua adalah masyarakat kaya informasi, yaitu masyarakat yang sudah cukup banyak mempunyai informasi sehingga cukup mempunyai daya saing, misalnya masyarakat perguruan tinggi, masyarakat duniausaha. Masyarakat kaya informasi telah mempunyai akses yang memadai kesumber-sumber informasi. Mereka tidak mudah untuk ditipu oleh informasi yang menyesatkan, mereka mampu mengumpulkan informasi yang cukup banyak dengan mudah dan secara perorangan mereka mampu menyeleksi mana informasi yang benar dan mana yang kurang benar. Tingkat ketiga adalah masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society), yakni masyarakat kaya informasi yang dalam pengambilan keputusan sehari-hari mendasarkan diri pada pengetahuan. Masyarakat berbasis pengetahuan ditunjukkan dengan kemudahan masyarakat mendapatkan pengetahuan seperti membuka kran air, yang mampu mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang cerdas melalui pemanfaatan kemajuan teknologi informasi. Di luar tiga tingkatan tersebut sebenarnya masih ada lagi tingkatan masyarakat yang belum sadar informasi, contohnya adalah masyarakat pedesaan yang menutup diri dari informasi dari luar. 
Pada saat ini, semua kegiatan yang dilakukan mulai dari membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam hari selalu ditemani dengan teknologi. Misalnya penggunaan alarm pada smartphone, mengetik tugas dengan menggunakan laptop, kemudian mengirimkan via email, browsing menggunakan wifi sampai menarik uang dianjungan tunai mandiri yang tersebar di hamper seluruh jalanan kota besar di Indonesia. Perkembangan ICT (Information Communication Technology) begitu pesat sehingga mengakibatkan border less dari sisi geografis. Hal ini pun terjadi di Indonesia dengan dukungan dari operator selular yang begitu gencar memperluas jaringannya sampai ke daerah pelosok pedesaan. 
Disisi lain terdapat perkembangan konten-konten kreatif diinternet yang begitu pesatnya. Dengan dukungan perkembangan internet terutama web 2.0 telah membuat informasi dan konten menjadi lebih kaya dan interaktif sehingga membuat interaksi antara aplikasi diinternet dengan manusia menjadi lebih menarik dan atraktif. Hal ini memunculkan banyaknya aplikasi yang berjalan diinternet seperti e-banking, newsonline, internet advertising dan yang paling populer tentunya munculnya media baru yakni social network. Hal ini diawali dengan friendster, kemudian facebook, twitter dan instagram. 

Daftar Pustaka
 Http://googleweblight.com/?lite_url=http://wiyarsih.staff.ugm.ac.id/wp/?p%3D16&ei=m5 0nzD3&lc=idID&s=1&m=928&host=www.google.co.id&ts=1473253505&sig=AKOV D64nUcjRaNnDDswfGIdfRi58KfoAWg.Diakses pada 06 September 2016.
Sulistyo-Basuki.1999.Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Universitas Terbuka.