Istilah masyarakat informasi mulai marak sekitar tahun 1980-an, sesaat setelah
berkembang teknologi informasi (Basuki,1999). Menurut pandangan John Naisbitt seperti yang
dikutip oleh Selo Sumardjan (1989) dalam Wiyarsih menyatakan jika jumlah pekerja ”whitecollar”
(krah putih) yang bekerja dengan bahan-bahan informasi lebih besar jumlahnya
disbanding pekerja” blue-collar” (krah biru) yang memproduksi barang-barang fisik dan jasa
dalam industri, masyarakat tersebut dapat disebut sebagai masyarakat informasi. Sedangkan
menurut Ronfeld (1992) menyatakan bahwa masyarakat informasi merupakan masyarakat yang
menunjukkan batas yang semakin kabur antara perangkat keras komputer, system berkomunikasi
dan satelit komuniksi, jaringan global dan sebagainya (Sulistyo-Basuki,1999).
Menurut Ahmad Djunaedi dalam Wiyarsih, didalam masyarakat terdapat tiga tingkatan
dari aspek informasi. Tingkat pertama ialah masyarakat sadar informasi, yaitu masyarakat yang
sudah sadar bahwa informasi diperlukan untuk meningkatkan daya saing (untuk maju), misalnya
masyarakat petani yang pada saat menjelang panen mereka mencari informasi harga tentang
harga-harga jual diberbagai pasar. Tingkat kedua adalah masyarakat kaya informasi, yaitu
masyarakat yang sudah cukup banyak mempunyai informasi sehingga cukup mempunyai daya
saing, misalnya masyarakat perguruan tinggi, masyarakat duniausaha. Masyarakat kaya
informasi telah mempunyai akses yang memadai kesumber-sumber informasi. Mereka tidak
mudah untuk ditipu oleh informasi yang menyesatkan, mereka mampu mengumpulkan informasi
yang cukup banyak dengan mudah dan secara perorangan mereka mampu menyeleksi mana
informasi yang benar dan mana yang kurang benar. Tingkat ketiga adalah masyarakat berbasis
pengetahuan (Knowledge Based Society), yakni masyarakat kaya informasi yang dalam
pengambilan keputusan sehari-hari mendasarkan diri pada pengetahuan. Masyarakat berbasis
pengetahuan ditunjukkan dengan kemudahan masyarakat mendapatkan pengetahuan seperti
membuka kran air, yang mampu mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang cerdas melalui
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi. Di luar tiga tingkatan tersebut sebenarnya masih ada
lagi tingkatan masyarakat yang belum sadar informasi, contohnya adalah masyarakat pedesaan
yang menutup diri dari informasi dari luar.
Pada saat ini, semua kegiatan yang dilakukan mulai dari membuka mata di pagi hari
sampai menutup mata di malam hari selalu ditemani dengan teknologi. Misalnya penggunaan
alarm pada smartphone, mengetik tugas dengan menggunakan laptop, kemudian mengirimkan
via email, browsing menggunakan wifi sampai menarik uang dianjungan tunai mandiri yang
tersebar di hamper seluruh jalanan kota besar di Indonesia.
Perkembangan ICT (Information Communication Technology) begitu pesat sehingga
mengakibatkan border less dari sisi geografis. Hal ini pun terjadi di Indonesia dengan dukungan
dari operator selular yang begitu gencar memperluas jaringannya sampai ke daerah pelosok
pedesaan.
Disisi lain terdapat perkembangan konten-konten kreatif diinternet yang begitu pesatnya.
Dengan dukungan perkembangan internet terutama web 2.0 telah membuat informasi dan konten
menjadi lebih kaya dan interaktif sehingga membuat interaksi antara aplikasi diinternet dengan
manusia menjadi lebih menarik dan atraktif. Hal ini memunculkan banyaknya aplikasi yang
berjalan diinternet seperti e-banking, newsonline, internet advertising dan yang paling populer
tentunya munculnya media baru yakni social network. Hal ini diawali dengan friendster,
kemudian facebook, twitter dan instagram.
Daftar Pustaka
Http://googleweblight.com/?lite_url=http://wiyarsih.staff.ugm.ac.id/wp/?p%3D16&ei=m5
0nzD3&lc=idID&s=1&m=928&host=www.google.co.id&ts=1473253505&sig=AKOV
D64nUcjRaNnDDswfGIdfRi58KfoAWg.Diakses pada 06 September 2016.Sulistyo-Basuki.1999.Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Universitas Terbuka.
Terimakasih artikel bikin penasaran hehe, Menurut Mba Diana, di Indonesia masyarakat informasinya ada di tingkat berapa?
BalasHapus