Sabtu, 18 Februari 2017

Sejarah Perpustakaan Digital

                 Pada tahun 1945 Vannevar Bush menulis artikel dengan judul “As We May Think” tentang impiannya berupa sebuah “meja kerja” untuk para ilmuwan yang diberi nama MEMEX (baca: “mi.meks”). Meja ini memiliki layar kaca dan merupakan sebuah “mesin memori‟ yang dapat menyimpan semua berkas, artikel, buku bacaan, dan surat menyurat seorang ilmuwan. Pemilik mesin ini akan bekerja seperti mengetik, membaca, memeriksa, menganalisis dengan berbagai berkas yang tersimpan dalam “meja kerja‟ tersebut yang saling berhubungan satu sama lain secara otomatis. Dia dapat membuka berkas yang akan dibaca, membuka berkas yang akan ditulis, dan menutupnya kembali jika sudah tidak dibutuhkannya (Pendit, 2009 : 13). Pikiran Bush ini muncul akibat penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Intinya adalah Bush ingin agar informasi atau ilmu pengetahuan yang ada dalam berbagai bentuk dan format tersebut dapat diorganisasikan supaya dapat dengan mudah disimpan dan ditemukan kembali apabila diperlukan.
            Perkembangan perpustakaan digital dimulai dengan otomasi perpustakaan dimana fungsi-fungsi perpustakaan dikerjakan dengan bantuan komputer. Otomasi perpustakaan ini mulai berkembang pada tahun 1980an. Namun, pada saat itu hanya perpustakaan-perpustakaan besar saja yang menerapkan otomasi perpustakaan mengingat biaya investasinya yang begitu besar. Pada tahun 1980an sudah dimulai adanya upaya untuk mengintegrasikan teks lengkap pada basis data elektronik. Library of Congress di Amerika yang telah mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional perpustakaan. Pada awal 1990-an berkembang perangkat lunak yang meng”otomasi” hampir seluruh fungsi perpustakaan seperti online public access catalogue (OPAC), kontrol sirkulasi, pengadaan bahan perpustakaan, interlibrary loan (ILL) atau pinjam antar perpustakaan, manajemen koleksi, manajemen keanggotaan, dan lain-lain. Dengan pengembangan jaringan lokal (Local Area Network/LAN) dan jaringan yang lebih luas (Wide Area Network/WAN) pada periode ini komunikasi antarperpustakaan dapat dilakukan dengan mudah dan lancar. Fasilitas online searching atau penelusuran informasi jarak jauh dengan teknologi peer to peer juga berkembang. Pada periode ini kita kenal layanan online searching dari DIALOG, DATA STAR, MEDLINE dan lain-lain.
                Di Indonesia sendiri perkembangan teknologi informasi yang mendasari pengembangan otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital ini dimulai pada akhir 1970an dengan dicanangkannya jaringan kerjasama IPTEK berbasis komputer yang dikenal dengan nama IPTEKNET (Saleh : 2014). Pada dekade 1980an dibentuk jaringan perguruan tinggi yang dikenal dengan nama University Network atau UNINET. Otomasi perpustakaan di Indonesia dimulai oleh Perpustakaan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perpustakaan Lembaga Manajemen Kelistrikan (LMK) dengan memelopori penggunaan komputer pribadi (Personal Computer/PC) untuk pengelolaan perpustakaan (Saleh : 2014). Akhir tahun 1980an banyak perpustakaan menggunakan CDS/ISIS dalam mengelola data bibliografinya. Seperti diketahui CDS/ISIS versi DOS dirilis pertama kali oleh UNESCO pada tahun 1986. Pada akhir 1980an sampai 1990an banyak perpustakaan di Indonesia memulai otomasi diantaranya seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) melalui proyek Bank Dunia XXI yang dikoordinasi oleh UKKP (Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan) membeli perangkat lunak Dynix (Saleh : 2014). Tidak mau kalah, Perpustakaan Nasional juga membeli perangkat lunak VTLS dan VTLS versi “micro”nya disebarkan ke Perpustakaan Nasional Provinsi di seluruh Indonesia. Departemen Agama juga “membagikan” perangkat lunak untuk manajemen perpustakaan yang diberi nama INSIS dan dibuat oleh PT Cursor Informatics kepada seluruh IAIN di Indonesia. Setelah itu, berkembang perangkat-perangkat lunak untuk otomasi perpustakaan seperti Spectra oleh UK Petra Surabaya, SIPISIS oleh Perpustakaan IPB, Adonis oleh Perpustakaan Universitas Andalas, ISISonline dan GDL oleh Perpustakaan ITB, Laser oleh perpustakaan UMM, Digilib oleh perpustakaan USU, BDeL oleh Universitas Bina Darma Palembang, LEIC oleh Universitas Syah Kuala, LEIC oleh Politeknik Negeri Sriwijaya, Digital Library oleh Widya Mandala Surabaya, LONTAR oleh Universitas Indonesia dan masih banyak lagi pihak-pihak yang mengembangkan perangkat lunak sejenis (Saleh : 2014). Ada juga perangkat lunak yang dikembangkan oleh vendor yang murni komersial, sebut saja NCI Bookman oleh PT Nuansa Cerah Informasi, SIMPUS dan lain-lain. Dengan berkembangnya perangkat lunak “open source” ada beberapa lembaga yang juga ikut bermain dalam pengembangan perangkat lunak pengelolaan otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital. Kita bisa menyebut SLiMS atau Senayan Library and Information Management System sebagai salah satu produk “open source” yang diproduksi oleh Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional di Senayan. Sebenarnya ISISOnline dan GDL juga dirilis sebagai perangkat lunak “open source” (Saleh : 2014).
                Adapun kelebihan perpustakaan digital dibandingkan dengan perpustakaan konvensional antara lain (Saleh : 2014)  :
a.       Menghemat ruangan
Koleksi perpustakaan digital adalah dokumen-dokumen berbentuk digital maka penyimpanannya akan sangat efisien. Hardisk dengan kapasitas 30 GB (sekarang ukuran standar hardisk adalah 140 GB) dapat berisi e-book sebanyak 10.000 – 12.000 judul (eksemplar) dengan jumlah halaman buku rata-rata 500 – 1.000 halaman. Jumlah ini sama dengan jumlah seluruh koleksi buku dari perpustakaan ukuran kecil sampai sedang. Sementara itu, perpustakaan konvensional yang koleksinya berupa buku atau dokumen tercetak memerlukan ruangan yang besar. Untuk jumlah buku yang sama yaitu 12.000 judul (eksemplar) maka diperlukan luas ruangan kira-kira 50–100 meter persegi (hanya untuk menempatkan fisik buku saja).
b.      Akses ganda (Multiple access)
Kekurangan perpustakaan konvensional adalah akses terhadap koleksinya bersifat tunggal. Artinya apabila ada sebuah buku dipinjam oleh seorang anggota perpustakaan maka anggota yang lain yang akan meminjam harus menunggu buku tersebut dikembalikan terlebih dahulu. Koleksi digital tidak demikian. Setiap pemakai dapat secara bersamaan menggunakan sebuah koleksi buku digital yang sama baik untuk dibaca maupun untuk diunduh atau dipindahkan ke komputer pribadinya (download). Pada perpustakaan konvensional konsep “pinjam buku” adalah membawa buku tersebut secara fisik ke luar dari perpustakaan, dan dengan demikian maka perpustakaan tersebut “kehilangan” secara fisik koleksinya jika ada yang meminjam, sementara konsep meminjam pada perpustakaan digital pengguna dapat mengunduh (download) salinan (copy) sebuah buku elektronik, sedangkan buku elektronik aslinya tetap berada pada server perpustakaan. Dengan demikian, perpustakaan bisa “meminjamkan” koleksi buku elektronik dalam jumlah banyak sekaligus kepada pengguna perpustakaan digital secara bersamaan, bahkan mungkin pustakawan tidak pernah tahu jumlah buku elektronik yang “dipinjam” oleh pemakainya (tentu saja dengan menambah fasilitas counter hal ini dapat diatasi dan pustakawan bisa menghitung jumlah pemakai perpustakaan digital yang mengunduh koleksinya).
c.       Tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
Perpustakaan digital dapat diakses dari mana saja dan kapan saja dengan catatan ada jaringan komputer (computer internetworking) sehingga antara komputer server dimana koleksi perpustakaan digital tersimpan dapat berhubungan dengan komputer pengguna (client). Selain jaringan tentu saja ada syarat lainnya seperti arus listrik (power) sehingga masing-masing komputer yang akan berhubungan tersebut dapat ”bekerja”. Sementara itu, perpustakaan konvensional hanya bisa diakses jika orang tersebut datang secara fisik ke perpustakaan pada saat perpustakaan membuka layanan. Jika pemakai perpustakaan bisa datang ke lokasi perpusakaan, namun mereka datang pada saat yang tidak tepat, misalnya pada jam-jam dimana perpustakaan sudah ditutup maka orang yang datang tersebut tetap tidak dapat mengakses dan menggunakan koleksi perpustakaan. Sebaliknya, walaupun perpustakaan sedang buka namun karena sesuatu hal (misalnya jarak yang jauh antara pemakai dengan perpustakaan) sehingga pemakai berhalangan atau tidak bisa datang ke perpustakaan maka pemakai tersebut tidak dapat mengakses atau menggunakan perpustakaan.
d.      Koleksi dapat berbentuk multimedia
Koleksi perpustakaan digital tidak hanya koleksi yang bersifat teks saja atau gambar saja. Koleksi perpustakaan digital dapat berbentuk kombinasi antara teks gambar, dan suara. Bahkan koleksi perpustakaan digital dapat menyimpan dokumen yang hanya bersifat gambar bergerak dan suara (film) yang tidak mungkin digantikan dengan bentuk teks. Pada beberapa dokumen digital seperti Encarta Encylopedia menyajikan kombinasi teks, gambar serta suara sekaligus. Pembaca disuguhi bacaan berupa teks yang menjelaskan suatu persoalan. Jika pembaca tidak mengerti penjelasan dari teks tersebut atau menginginkan informasi yang tidak mungkin ditampilkan oleh teks, maka pembaca dapat menampilkan gambar bergerak yang dilengkapi dengan suara (misalnya, bagaimana proses telur menetas sampai anak ayam keluar dari cangkang telur).
e.      Biaya lebih murah
Secara relatif dapat dikatakan bahwa biaya untuk dokumen digital termasuk murah. Mungkin memang tidak sepenuhnya benar. Untuk memproduksi sebuah e-book mungkin perlu biaya yang cukup besar. Namun, bila melihat sifat e-book yang bisa digandakan dengan jumlah yang tidak terbatas dan dengan biaya sangat murah, mungkin kita akan menyimpulkan bahwa dokumen elektronik tersebut biayanya sangat murah. Belum lagi jika diperhitungkan biaya distribusi dari dokumen digital dibandingkan dengan dokumen konvensional maka pengiriman dokumen digital akan ribuan kali lebih murah dibandingkan dengan biaya distribusi dokumen digital.


DAFTAR PUSTAKA

Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital : Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta : Citra Karya Mandiri.


Saleh, Abdul Rahman. 2014. Modul Pengembangan Perpustakaan Digital. Tangerang : Universitas Terbuka.

2 komentar:

  1. Do you fully agree with Saleh's idea?

    BalasHapus
  2. Dengan begitu mudahnya menduplikasi ebook, bagaimana dengan perpustakaan digital agar pengguna terus mengunjungi&mengakses perpustakaan digital, Mba Diana? :D

    BalasHapus