Pada tahun 1945 Vannevar Bush menulis artikel dengan judul “As
We May Think” tentang impiannya berupa sebuah “meja kerja” untuk para
ilmuwan yang diberi nama MEMEX (baca: “mi.meks”). Meja ini memiliki layar kaca
dan merupakan sebuah “mesin memori‟ yang dapat menyimpan semua berkas, artikel,
buku bacaan, dan surat menyurat seorang ilmuwan. Pemilik mesin ini akan bekerja
seperti mengetik, membaca, memeriksa, menganalisis dengan berbagai berkas yang
tersimpan dalam “meja kerja‟ tersebut yang saling berhubungan satu sama lain
secara otomatis. Dia dapat membuka berkas yang akan dibaca, membuka berkas yang
akan ditulis, dan menutupnya kembali jika sudah tidak dibutuhkannya (Pendit,
2009 : 13). Pikiran Bush ini muncul akibat penyimpanan informasi manual yang
menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Intinya adalah
Bush ingin agar informasi atau ilmu pengetahuan yang ada dalam berbagai bentuk
dan format tersebut dapat diorganisasikan supaya dapat dengan mudah disimpan
dan ditemukan kembali apabila diperlukan.
Perkembangan
perpustakaan digital dimulai dengan otomasi perpustakaan dimana fungsi-fungsi
perpustakaan dikerjakan dengan bantuan komputer. Otomasi perpustakaan ini mulai
berkembang pada tahun 1980an. Namun, pada saat itu hanya
perpustakaan-perpustakaan besar saja yang menerapkan otomasi perpustakaan
mengingat biaya investasinya yang begitu besar. Pada tahun 1980an sudah dimulai
adanya upaya untuk mengintegrasikan teks lengkap pada
basis data elektronik. Library of Congress di Amerika yang telah
mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic document
imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional perpustakaan.
Pada awal 1990-an berkembang perangkat lunak yang meng”otomasi” hampir seluruh
fungsi perpustakaan seperti online public access catalogue (OPAC),
kontrol sirkulasi, pengadaan bahan perpustakaan, interlibrary loan (ILL)
atau pinjam antar perpustakaan, manajemen koleksi, manajemen keanggotaan, dan
lain-lain. Dengan pengembangan jaringan lokal (Local Area Network/LAN)
dan jaringan yang lebih luas (Wide Area Network/WAN) pada periode ini
komunikasi antarperpustakaan dapat dilakukan dengan mudah dan lancar. Fasilitas
online searching atau penelusuran informasi jarak jauh dengan teknologi peer
to peer juga berkembang. Pada periode ini kita kenal layanan online
searching dari DIALOG, DATA STAR, MEDLINE dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri
perkembangan teknologi informasi yang mendasari pengembangan otomasi
perpustakaan dan perpustakaan digital ini dimulai pada akhir 1970an dengan
dicanangkannya jaringan kerjasama IPTEK berbasis komputer yang dikenal dengan
nama IPTEKNET (Saleh : 2014). Pada dekade 1980an dibentuk jaringan perguruan
tinggi yang dikenal dengan nama University Network atau UNINET. Otomasi
perpustakaan di Indonesia dimulai oleh Perpustakaan Institut Teknologi Bandung
(ITB) dan Perpustakaan Lembaga Manajemen Kelistrikan (LMK) dengan memelopori
penggunaan komputer pribadi (Personal Computer/PC) untuk pengelolaan
perpustakaan (Saleh : 2014). Akhir tahun 1980an banyak perpustakaan menggunakan
CDS/ISIS dalam mengelola data bibliografinya. Seperti diketahui CDS/ISIS versi
DOS dirilis pertama kali oleh UNESCO pada tahun 1986. Pada akhir 1980an sampai
1990an banyak perpustakaan di Indonesia memulai otomasi diantaranya seluruh perguruan
tinggi negeri (PTN) melalui proyek Bank Dunia XXI yang dikoordinasi oleh UKKP
(Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan) membeli perangkat lunak Dynix (Saleh :
2014). Tidak mau kalah, Perpustakaan Nasional juga membeli perangkat lunak VTLS
dan VTLS versi “micro”nya disebarkan ke Perpustakaan Nasional Provinsi di
seluruh Indonesia. Departemen Agama juga “membagikan” perangkat lunak untuk
manajemen perpustakaan yang diberi nama INSIS dan dibuat oleh PT Cursor Informatics
kepada seluruh IAIN di Indonesia. Setelah itu, berkembang perangkat-perangkat
lunak untuk otomasi perpustakaan seperti Spectra oleh UK Petra Surabaya,
SIPISIS oleh Perpustakaan IPB, Adonis oleh Perpustakaan Universitas Andalas,
ISISonline dan GDL oleh Perpustakaan ITB, Laser oleh perpustakaan UMM, Digilib
oleh perpustakaan USU, BDeL oleh Universitas Bina Darma Palembang, LEIC oleh
Universitas Syah Kuala, LEIC oleh Politeknik Negeri Sriwijaya, Digital Library
oleh Widya Mandala Surabaya, LONTAR oleh Universitas Indonesia dan masih banyak
lagi pihak-pihak yang mengembangkan perangkat lunak sejenis (Saleh : 2014). Ada
juga perangkat lunak yang dikembangkan oleh vendor yang murni komersial, sebut
saja NCI Bookman oleh PT Nuansa Cerah Informasi, SIMPUS dan lain-lain. Dengan
berkembangnya perangkat lunak “open source” ada beberapa lembaga yang juga ikut
bermain dalam pengembangan perangkat lunak pengelolaan otomasi perpustakaan dan
perpustakaan digital. Kita bisa menyebut SLiMS atau Senayan Library and
Information Management System sebagai salah satu produk “open source” yang diproduksi oleh Perpustakaan Departemen
Pendidikan Nasional di Senayan. Sebenarnya ISISOnline dan GDL juga dirilis
sebagai perangkat lunak “open source”
(Saleh : 2014).
Adapun kelebihan perpustakaan
digital dibandingkan dengan perpustakaan konvensional antara lain (Saleh : 2014)
:
a. Menghemat ruangan
Koleksi
perpustakaan digital adalah dokumen-dokumen berbentuk digital maka
penyimpanannya akan sangat efisien. Hardisk dengan kapasitas 30 GB (sekarang
ukuran standar hardisk adalah 140 GB) dapat berisi e-book sebanyak 10.000 – 12.000 judul (eksemplar) dengan jumlah
halaman buku rata-rata 500 – 1.000 halaman. Jumlah ini sama dengan jumlah
seluruh koleksi buku dari perpustakaan ukuran kecil sampai sedang. Sementara
itu, perpustakaan konvensional yang koleksinya berupa buku atau dokumen
tercetak memerlukan ruangan yang besar. Untuk jumlah buku yang sama yaitu
12.000 judul (eksemplar) maka diperlukan luas ruangan kira-kira 50–100 meter
persegi (hanya untuk menempatkan fisik buku saja).
b.
Akses ganda (Multiple
access)
Kekurangan
perpustakaan konvensional adalah akses terhadap koleksinya bersifat tunggal.
Artinya apabila ada sebuah buku dipinjam oleh seorang anggota perpustakaan maka
anggota yang lain yang akan meminjam harus menunggu buku tersebut dikembalikan
terlebih dahulu. Koleksi digital tidak demikian. Setiap pemakai dapat secara
bersamaan menggunakan sebuah koleksi buku digital yang sama baik untuk dibaca
maupun untuk diunduh atau dipindahkan ke komputer pribadinya (download).
Pada perpustakaan konvensional konsep “pinjam buku” adalah membawa buku
tersebut secara fisik ke luar dari perpustakaan, dan dengan demikian maka
perpustakaan tersebut “kehilangan” secara fisik koleksinya jika ada yang
meminjam, sementara konsep meminjam pada perpustakaan digital pengguna dapat
mengunduh (download) salinan (copy) sebuah buku elektronik,
sedangkan buku elektronik aslinya tetap berada pada server perpustakaan. Dengan
demikian, perpustakaan bisa “meminjamkan” koleksi buku elektronik dalam jumlah
banyak sekaligus kepada pengguna perpustakaan digital secara bersamaan, bahkan
mungkin pustakawan tidak pernah tahu jumlah buku elektronik yang “dipinjam”
oleh pemakainya (tentu saja dengan menambah fasilitas counter hal ini
dapat diatasi dan pustakawan bisa menghitung jumlah pemakai perpustakaan
digital yang mengunduh koleksinya).
c.
Tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
Perpustakaan
digital dapat diakses dari mana saja dan kapan saja dengan catatan ada jaringan
komputer (computer internetworking) sehingga antara komputer server
dimana koleksi perpustakaan digital tersimpan dapat berhubungan dengan komputer
pengguna (client). Selain jaringan tentu saja ada syarat lainnya seperti
arus listrik (power) sehingga masing-masing komputer yang akan
berhubungan tersebut dapat ”bekerja”. Sementara itu, perpustakaan konvensional
hanya bisa diakses jika orang tersebut datang secara fisik ke perpustakaan pada
saat perpustakaan membuka layanan. Jika pemakai perpustakaan bisa datang ke
lokasi perpusakaan, namun mereka datang pada saat yang tidak tepat, misalnya
pada jam-jam dimana perpustakaan sudah ditutup maka orang yang datang tersebut
tetap tidak dapat mengakses dan menggunakan koleksi perpustakaan. Sebaliknya,
walaupun perpustakaan sedang buka namun karena sesuatu hal (misalnya jarak yang
jauh antara pemakai dengan perpustakaan) sehingga pemakai berhalangan atau
tidak bisa datang ke perpustakaan maka pemakai tersebut tidak dapat mengakses
atau menggunakan perpustakaan.
d.
Koleksi dapat berbentuk multimedia
Koleksi
perpustakaan digital tidak hanya koleksi yang bersifat teks saja atau gambar
saja. Koleksi perpustakaan digital dapat berbentuk kombinasi antara teks
gambar, dan suara. Bahkan koleksi perpustakaan digital dapat menyimpan dokumen
yang hanya bersifat gambar bergerak dan suara (film) yang tidak mungkin
digantikan dengan bentuk teks. Pada beberapa dokumen digital seperti Encarta
Encylopedia menyajikan kombinasi teks, gambar serta suara sekaligus. Pembaca
disuguhi bacaan berupa teks yang menjelaskan suatu persoalan. Jika pembaca
tidak mengerti penjelasan dari teks tersebut atau menginginkan informasi yang
tidak mungkin ditampilkan oleh teks, maka pembaca dapat menampilkan gambar
bergerak yang dilengkapi dengan suara (misalnya, bagaimana proses telur menetas
sampai anak ayam keluar dari cangkang telur).
e.
Biaya lebih murah
Secara
relatif dapat dikatakan bahwa biaya untuk dokumen digital termasuk murah.
Mungkin memang tidak sepenuhnya benar. Untuk memproduksi sebuah e-book mungkin
perlu biaya yang cukup besar. Namun, bila melihat sifat e-book yang bisa
digandakan dengan jumlah yang tidak terbatas dan dengan biaya sangat murah,
mungkin kita akan menyimpulkan bahwa dokumen elektronik tersebut biayanya
sangat murah. Belum lagi jika diperhitungkan biaya distribusi dari dokumen
digital dibandingkan dengan dokumen konvensional maka pengiriman dokumen
digital akan ribuan kali lebih murah dibandingkan dengan biaya distribusi
dokumen digital.
DAFTAR
PUSTAKA
Pendit,
Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital :
Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta : Citra Karya Mandiri.
Saleh, Abdul
Rahman. 2014. Modul Pengembangan
Perpustakaan Digital. Tangerang : Universitas Terbuka.
Do you fully agree with Saleh's idea?
BalasHapusDengan begitu mudahnya menduplikasi ebook, bagaimana dengan perpustakaan digital agar pengguna terus mengunjungi&mengakses perpustakaan digital, Mba Diana? :D
BalasHapus