Rabu, 29 Maret 2017

Pengalaman Pertama Berkunjung ke Perpustakaan Kota Yogyakarta (review)

Setelah beberapa kali merencanakan untuk berkunjung ke perpustakaan kota jogja, dan hanya menjadi suatu wacana, maka suatu sore saya dan ketiga teman saya berkeinginan untuk berkunjung ke sana agar tidak penasaran, karena setiap kami melewati depan perpustakaan tersebut selalu terlihat ramai akan pengunjung, kok kelihatan nyaman sekali. Perpustakaan kota Jogja berlokasi di Jl. Suroto no. 9 Yogyakarta. Sesampainya di sana, setelah kami memarkir motor, kami masuk ke perpustakaan, di situ kami di sambut dengan mengisi buku data pengunjung perpustakaan. Kemudian kami bertanya password wifi kepada petugas, karena itu memang tujuan pertama kami untuk mencari internet gratis :D, haha.  Petugas kemudian memberikan potongan kertas kecil yang bertuliskan username dan password untuk digunakan login ke wifi, dan menjelaskan bahwa username dan password tersebut hanya berlaku kisaran waktu 2-3 jam an dan hanya dapat berlaku pada satu laptop atau handphone jadi tidak bisa digunakan untuk dua sekaligus. Kami pun sedikit kaget dan bingung mengapa kok aturannya seperti itu. Setelah kami menerima kertas tersebut, kami harus menulis pada buku mengenai nama. Apabila kami menginginkan wifi agar dapat digunakan pada laptop dan HP kami, kami harus meminta dua potongan kertas tersebut agar dapat login. Setelah itu, ketika kami mau meletakkan tas pada loker kami diberi kunci beserta gembok, dan pada gembok tersebut terdapat nomornya, entah apa tujuan dari pemberian nomor tersebut, mungkin agar tidak tertukar atau bagaimana, entahlah.
            Perpustakaan kota Jogja, memiliki dua lantai, dan pada luar ruangan terdapat gazebo-gazebo. Di dalam ruangan perpustakaan ternyata tak begitu luas. Pada sore hari tersebut, pengunjung perpustakaan sangat ramai, yang awalnya kami berniat untuk duduk di luar ruangan, karena perpustakaan tutup jam 20.00, akhirnya kami naik ke lantai 2. Di situ suasananya sangat hening, sehingga kami pun sedikit tidak nyaman untuk mengobrol atau bersenda gurau. Hingga akhirnya setelah maghrib, gazebo pun sedikit longgar, dan kami pun berpindah ke luar ruangan perpustakaan. Kami pun login, ternyata jaringannya kok lemot sekali, kami pun sudah merasa jengkel, dan ternyata juga kursi yang kami duduki pada gazebo dipaku dan tidak bisa di geser apalagi dipindah, wkwk :D, apabila mengantisipasi agar tidak dicuri, akan lebih baik di rantai setidaknya dapat digeser sehingga pengguna merasa nyaman. Dan itu sangat tidak nyaman sekali. Kami pun merasa kecewa sekali, dari awal kok ya ribet untuk username dan password wifi, tidak simple mengapa memakai dua username dan password untuk dapat terhubung ke internet dengan HP dan laptop, kami pun berekspektasi bahwa perpustakaan kota Jogja juga luas, ternyata tak begitu luas.
Gambar 1. Potongan kertas username dan password


Gambar 2. Kunci beserta gembok loker


Gambar 3. Jarak Kursi dan Meja yang Jauh

Gambar 4. Kursi yang dipaku

Gambar 5. Jarak antara kursi dan pagar (hijau) yang sempit

Yah itulah sedikit ulasan mengenai kunjungan pertama saya bersama teman-teman saya ke perpustakaan kota Jogja, semoga bermanfaat. 






Senin, 20 Maret 2017

Preservasi Digital

            Saat ini manusia hidup pada era digital, dimana hampir seluruh kebutuhan informasi mereka dapat diakses melalui teknologi digital. Salah satu isu penting dalam dunia perpustakaan di era informasi ini adalah isu tentang pelestarian digital (digital preservation). Apabila sebagian atau seluruh koleksi perpustakaan tersedia dalam format digital, maka kegiatan preservasi digital menjadi suatu hal yang mutlak dilakukan, hal itu karena menyangkut keberadaan dan keberlangsungan nilai-nilai informasi. Suatu informasi menjadi bernilai ketika mudah dicari dan ditemukan kembali. Preservasi digital bertujuan agar informasi yang tersimpan dalam format digital dapat diakses dengan mudah dan tersedia dalam jangka waktu yang lama.
Preservasi digital adalah proses memilih, mengadakan, mengolah, melayankan, serta memelihara dokumen atau data digital sehingga dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama secara internal oleh publik sesuai dengan kaidah, norma dan kode etik yang berlaku (Mustafa:2008). Sedangkan menurut Wendy Smith (Purwono:2009), preservasi adalah semua kegiatan yang bertujuan memperpanjang umur bahan pustaka dan informasi yang ada di dalamnya. Preservasi digital berbeda dengan preservasi non digital. Kandungan informasi pada bahan pustaka tercetak dapat dilestarikan dengan merawat fisik kertas dan kemasannya, sedangkan informasi digital tidak saja melekat pada objek fisiknya, tetapi juga merupakan suatu yang harus dijalankan dengan memakai suatu perangkat lunak dan perangkat keras. Dengan demikian, preservasi digital tidak semata-mata dengan cara melestarikan objek fisiknya, tetapi juga dengan cara menjamin penggunaan mesin dalam ruang waktu yang sepanjang mungkin. Beberapa hal yang mendorong perlunya melakukan preservasi digital adalah :
1.   Informasi dalam bentuk materi digital sulit bertahan dalam jangka waktu lama, hal ini disebabkan karena kadaluarsanya perangkat lunak dan perangkat keras yang dipakai untuk membaca materi digital karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, kerusakan mekanis pada perangkat keras, serangan virus dan hacker.
2.   Apabila materi digital hilang, terjadi secara tiba-tiba tanpa ada warning sebelumnya dan hilangnya materi digital tanpa bekas (permanently).
3.   Masalah-masalah yang berkaitan dengan keontetikan (authenticity) naskah dan hak cipta (authorship) materi digital lebih kompleks dibandingkan dengan bahan pustaka tercetak karena materi mudah diubah dan dapat di copy secara luas.

Adapun strategi preservasi digital adalah :
1.   Preservasi teknologi, merupakan tindakan pemeliharaan terhadap software dan hardware yang mendukung sumber daya (koleksi) digital untuk membaca atau menjalankan sebuah objek digital.
2.   Refreshing perawatan dengan mencermati usia media sehingga perlu pemindahan data dari media yang satu ke media lainnya, kelebihan dari strategi ini adalah mudah diterapkan dan resiko kehilangan data dalam proses pemindahan data sangat kecil.
3.   Migration dan Reformatting mengubah konfigurasi data digital tanpa mengubah kandungan isi intelektualnya, strategi migrasi ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.
4.   Emulation proses penyegaran di lingkungan sistem, yakni secara teoritis dapat dilakukan pembuatan ulang secara berkala terhadap program komputer tertentu agar dapat terus membaca data digital yang terekam dalam berbagai format dari berbagai versi.
5.   Digital archeology, menyelamatkan isi dokumen yang tersimpan dalam media penyimpanan ataupun perangkat keras dan perangkat lunak yang sudah rusak, sehingga isi dokumen tersebut tetap dapat digunakan. Strategi ini merupakan strategi dengan biaya yang rendah tetapi memiliki resiko yang tinggi, karena dengan hanya memperbaharui media penyimpanannya terdapat kemungkinan data tersebut tidak akan terbaca ketika perpustakaan telah menggunakan teknologi yang baru.
6.   Mengubah data digital menjadi analog. Untuk mempertahankan koleksi digital agar dapat diakses oleh pengguna, koleksi digital dapat dialih bentukkan ke dalam media analog. Selain dialihkan ke dalam bentuk mikrofilm, strategi ini dapat dilakukan dengan membuat printout atau mencetak kembali dokumen yang telah didigitasi.
Berkaitan dengan perkembangan konsep perpustakaan digital, pelestarian pun menjadi hal yang harus diperhatikan. Kegiatan pelestarian ini menjadi suatu hal yang wajib atau mutlak terutama mengingat pertumbuhan produk digital yang amat pesat. Dalam konteks ini maka semua jenis pelestarian termasuk pelestarian digital adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk menjaga isi/kandungan dari sebuah dokumen digital agar sebuah objek digital dapat terus dipakai selama mungkin. Kegiatan preservasi digital sebenarnya adalah memastikan informasi yang tersimpan dalam media digital tersebut tetap dapat diakses oleh siapapun yang memerlukannya baik di masa kini ataupun di masa yang akan datang. Pelestarian digital dan non digital berbeda, oleh karena itu terdapat beberapa strategi dalam preservasi digital agar dalam  prakteknya dapat mempertimbangkan resiko-resiko. Oleh karena itu ketika akan melakukan digitasi dokumen, hendaknya sudah dipikirkan pula preservasi dokumen tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Chowdhurry, G. G. 2001. Introduction to Digital Libraries. London : Facet Publishing.
Purwono. 2009. Dasar-dasar Dokumentasi : Pelestarian Dokumen. Jakarta : Universitas Terbuka.

Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital : Dari A Sampai Z. Jakarta : Citra Karyakarsa Mandiri. 

Rabu, 08 Maret 2017

Makerspace : Imagine it ! Do it !

Seiring dengan perkembangan zaman, paradigma perpustakaan sebagai ruang fisik (as place) terus mengalami perubahan. Jika dulu perpustakaan hanya dipahami sebagai tempat pengelolaan koleksi, layanan sirkulasi, referensi, serta administrasi, maka sekarang paradigma tersebut sudah bergeser ke arah pemberdayaan sumber daya perpustakaan (library resource), pemberdayaan pemustaka (user), dan inovasi layanan (service). Tren layanan perpustakaan pun saat ini sudah bergeser. Salah satu tren inovasi layanan baru di perpustakaan adalah generasi kelima yakni makerspace (Priyanto:2017). Ide awal untuk mengintegrasikan makerspace sebagai sebuah layanan perpustakaan bermula dari para pustakawan sekolah yang ingin mengoneksikan antara sumber-sumber yang ada di perpustakaan dengan proses pembelajaran (Houston, 2013).
Hasil gambar untuk makerspace
Generasi kelima ini dapat mewujudkan pembelajaran yang kolaboratif dan inovatif. Sebagai sebuah inovasi layanan terbaru di perpustakaan, implementasi makerspace di masing-masing perpustakaan mungkin akan sedikit berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Dalam konsep manajemen pengetahun (knowledge management), keberadaan makerspace di perpustakaan bisa menjadi salah satu cara untuk mengeksplisitkan pengetahuan yang selama ini masih banyak tersimpan di dalam kepala (tacit knowledge). Dengan adanya makerspace, seseorang di perpustakaan tidak hanya bisa membaca saja. Tetapi bisa mempraktikkan apa yang dibaca di dalam makerspace. Mereka bisa saling bertukar ide untuk menciptakan sesuatu.
Dalam makerspace ada sebuah ungkapan, Imagine it! Do it!. Hal ini menunjukkan bahwa dalam makerspace seseorang tidak hanya bebas berimajinasi, tetapi juga bisa langsung menuangkannya dalam karya nyata. Salah satu gambaran aktivitas nyata makerspace di perpustakaan, misalnya adalah ketika seorang membaca buku tentang robot, ia langsung dapat menggunakan alat-alat robotik dan mempraktikan apa yang ia baca. Dengan demikian, seorang anak akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terkait pengetahuan robotik sejak dini. Ia juga bisa menjadi seorang produsen atau pembuat robot dan tidak hanya sekadar menjadi seorang konsumen. Dalam hal ini, makerspace mendorong seseorang untuk aktif, berkolaborasi, dan mengkreasikan ide-ide mereka menjadi sebuah produk nyata (Colegrove, 2013:4). Dalam konteks perpustakaan, desain ataupun tipe makerspace dapat disingkronkan dengan subyek koleksi perpustakaan. Dalam hal ini, keberadaan koleksi menjadi sebuah referensi jika para maker membutuhkan ide baru yang relevan dalam pengembangan produknya. Dengan demikian, perpustakaan bisa menjadi tempat pembelajaran yang kolaboratif dan menciptakan pengalaman baru bagi penggunanya. Sayangnya, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga mengenai makerspace ini.
DAFTAR PUSTAKA
Colegrove, Tod, “Editorial Board Thoughts: Libraries as Makerspace?” dalam Information Technology And Libraries, Maret 2013, hlm.13.
Houston, Cynthia R. 2013. “Ma (Placeholder1)kerspace@your School Library: Consider the Possibilities”.pdf, IASL Conference p.360.
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Yogyakarta : Univ. Gadjah Mada.



Jenis Koleksi Perpustakaan Digital

            Perkembangan perpustakaan tidak pernah lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Hal ini dikarenakan perpustakaan sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Perpustakaan memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan melalui penyimpan berbagai informasi dan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan teknologi informasi memberikan dukungan pada kemudahan akses dan sistem informasi dalam sebuah perpustakaan. Salah satu hal yang saat ini sangat diperhatikan oleh perpustakaan adalah pengembangan koleksi digital. Koleksi digital dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni born digital, dari awal terpublikasi dalam bentuk digital, dan digital surrogate merupakan bentuk lain dari objek fisik atau teks, misalnya dengan didigitasikan (Priyanto:2017).
Hasil gambar untuk jenis koleksi perpustakaan digital
            Saat komputer menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan kita, maka materi-materi born digital ini semakin banyak. Di beberapa bidang, materi digital seringkali tak tergantikan oleh materi lainnya, atau akan menjadi terlalu merepotkan apabila diubah menjadi bentuk lain, misalnya materi-materi yang dihasilkan oleh program computer aided design untuk membuat model-model produk di dunia industri dalam bentuk gambar digital tiga dimensi untuk dilihat pada layar, para arsitek dan perancang produk saat ini sangat bergantung pada materi digital seperti itu. Para pustakawan, akhirnya perlu memikirkan bagaimana cara terbaik menyimpan materi-materi seperti itu. Dengan kehadiran materi digital yang mulai membludak, diharapkan pustakawan dapat memahami beberapa hal pokok, misalnya perbedaan antara karya (work), perwujudan (manifestation), dan berkas komputer (computer file). Banyak perpustakaan kini mengurus buku yang memiliki wujud alias manifestasi digital, sehingga harus disimpan dan dikelola secara khusus, bersama-sama dengan karya yang benar-benar hanya berbentuk digital atau sering juga dikategorikan sebagi single manifestation work.  
            Sebagian besar karya digital (digital works) di WorldCat (yakni karya yang setidaknya memiliki satu manifestasi digital) adalah karya yang born digital, dan atau karya yang digital yang tidak diketahui apakah memiliki bentuk lainnya atau tidak. Misalnya, sebuah gambar digital seringkali sebenarnya memiliki bentuk asli dalam bentuk tercetak, tetapi siapa yang menyimpan bentuk itu, dan apakah ada katalognya? Hal-hal yang tampaknya remeh seperti ini seringkali akhirnya menimbulkan persoalan, terutama dalam hal penyimpanan untuk waktu lama atau preservasi digital.
DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Perpustakaan Digital. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

             

Kamis, 02 Maret 2017

Client Focused

            Saat ini, berbagai jenis perpustakaan berlomba-berlomba memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Layanan yang disediakan oleh perpustakaan guna memenuhi tuntutan pengguna telah menggeser paradigma layanan yang mulanya layanan bersifat manual atau konvensional menuju layanan berbasis IT. Berbagai pemanfaatan teknologi informasi pada pelayanan tersebut semata-mata untuk mengembangkan sistem yang berorientasi pada tuntutan kebutuhan pemustaka. Namun pustakawan masih melihat tingkat kuantitas pengguna yang datang semakin banyak, namun tak melihat dari segi loyalitas pemustaka datang ke perpustakaan, selain itu masih terdapat mindset petugas yang menyatakan bahwa pengguna datang ke perpustakaan adalah orang-orang yang membutuhkan koleksi sehingga perpustakaan dianggap sebatas tempat transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi.
Hasil gambar untuk pengguna perpustakaan duduk di sofa perpustakaan
            Sebagaimana diketahui bahwa terdapat lima generasi perpustakaan (Priyanto, 2017) : generasi pertama diistilahkan dengan collection centric, pada generasi ini yang menjadi fokus utama perpustakaan adalah jumlah koleksi, generasi kedua yakni client/user focused, perpustakaan mulai fokus pada layanan dengan memanfaatkan teknologi informasi, generasi ketiga yaitu experience centered, perpustakaan memberikan pengalaman yang menyenangkan kepada pengguna, perpustakaan menyediakan berbagai fasilitas belajar, generasi keempat yakni connected and collaborative learning experience, perpustakaan menyadari bukan hanya sebagai fasilitator, penghubung antara koleksi dan pemustaka namun mempertemukan dengan orang-orang yang “ahli”, perpustakaan memberikan fasilitas tele conference dan fasilitas lainnya, dan generasi kelima yaitu makerspace, perpustakaan tidak saja memberikan fasilitas belajar dari buku namun sebagai tempat untuk mengerjakan sesuatu, mempraktekkan apa yang telah dibaca.
            Pada generasi client focused, mengubah yang semula perpustakaan berfokus pada banyaknya jumlah koleksi serta hampir 50% space digunakan untuk koleksi berubah menjadi berfokus pada memberikan pelayanan terbaik terhadap pemustaka. Pemustaka terasa dimanjakan dengan pelayanan yang berbasis TI, sedangkan pustakawan dapat disebut sebagai “agen perubahan” bagi lingkungannya. Benarkah demikian ? jawabnya ada pada diri pustakawan masing-masing. Namun dengan kehadiran teknologi informasi tersebut, sikap pustakawan ada yang menerima dan menolak. Menolak yang dilakukan oleh pustakawan “konvensional/generasi tua” (tidak semuanya) karena ada yang susah payah belajar menyesuaikan, supaya tidak “gagap teknologi”. Bagi pustakawan yang “alergi perubahan karena teknologi”, secara alamiah terpinggirkan dari arena kompetisi di gelanggang perpustakaan. Sebagai contohnya ketika layanan sudah mengembangkan sistem layanan berbasis TI, kemudian petugasnya belum bisa sepenuhnya mengoperasikan sistem tersebut maka akan menghambat kinerja dan terlebih pemenuhan kepuasan pengguna akan sulit terpenuhi karena ekpektasi pengguna sudah terlalu tinggi. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pustakawan yang kompeten untuk menghadapi hadirnya teknologi informasi di suatu perpustakaan.
            Pada generasi ini, perpustakaan berbasis otomasi perpustakaan, perpustakaan menyediakan katalog online untuk pencarian koleksi, daftar hadir pemustaka menggunakan komputer, serta peminjaman dan pengembalian buku secara online, perpustakaan benar-benar memberikan pelayanan agar dapat memuaskan pemustaka. Perpustakaan juga membuat ruangan perpustakaan lebih menarik, agar pemustaka merasa betah dan nyaman berlama-lama di perpustakaan.
            Teknologi informasi di perpustakaan bukanlah suatu “dewa” yang harus diagung-agungkan dan dipuja-puja, bukan pula “monster atau hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Pemanfaatan teknologi wajib dilakukan untuk memuaskan kebutuhan pemustaka yang semakin beragam. Namun teknologi informasi merupakan investasi mahal dan jangka panjang, hal ini menjadi tantangan bagi pustakawan, di samping harus menghadapi tuntutan pemustaka yang beragam dan menghadapi pimpinan yang sering kurang perhatian dengan perpustakaan.
            Konsep pelayanan menurut Zeithaml (2006), service is all economic activities whole output is not a phisycal product or construction is generally consumed at that time it is produced, and provides value in forms (such as convenience, amusement, comfort or health). Pada generasi kedua ini, kualitas layanan menjadi prioritas utama dalam memberikan layanan yang optimal, karena pada dasarnya layanan bukan hanya dilihat dari banyaknya koleksi yang disediakan, koleksi yang dipinjam maupun koleksi yang dibaca oleh pemustaka. Orientasi kualitas layanan bukan lagi pada jumlah koleksi namun kebutuhan dan kepuasan pengguna dengan pemanfaatan teknologi informasi.

DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Mata Kuliah Manajemen dan Disain Perpustakaan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Zeithaml, Valarie A. Mary Jo Bitner, Dwayne D. Gremler. 2006. Service Marketing : Integrating Customer Focus Across The Firm. Boston : McGraw Hill.