Kamis, 02 Maret 2017

Client Focused

            Saat ini, berbagai jenis perpustakaan berlomba-berlomba memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Layanan yang disediakan oleh perpustakaan guna memenuhi tuntutan pengguna telah menggeser paradigma layanan yang mulanya layanan bersifat manual atau konvensional menuju layanan berbasis IT. Berbagai pemanfaatan teknologi informasi pada pelayanan tersebut semata-mata untuk mengembangkan sistem yang berorientasi pada tuntutan kebutuhan pemustaka. Namun pustakawan masih melihat tingkat kuantitas pengguna yang datang semakin banyak, namun tak melihat dari segi loyalitas pemustaka datang ke perpustakaan, selain itu masih terdapat mindset petugas yang menyatakan bahwa pengguna datang ke perpustakaan adalah orang-orang yang membutuhkan koleksi sehingga perpustakaan dianggap sebatas tempat transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi.
Hasil gambar untuk pengguna perpustakaan duduk di sofa perpustakaan
            Sebagaimana diketahui bahwa terdapat lima generasi perpustakaan (Priyanto, 2017) : generasi pertama diistilahkan dengan collection centric, pada generasi ini yang menjadi fokus utama perpustakaan adalah jumlah koleksi, generasi kedua yakni client/user focused, perpustakaan mulai fokus pada layanan dengan memanfaatkan teknologi informasi, generasi ketiga yaitu experience centered, perpustakaan memberikan pengalaman yang menyenangkan kepada pengguna, perpustakaan menyediakan berbagai fasilitas belajar, generasi keempat yakni connected and collaborative learning experience, perpustakaan menyadari bukan hanya sebagai fasilitator, penghubung antara koleksi dan pemustaka namun mempertemukan dengan orang-orang yang “ahli”, perpustakaan memberikan fasilitas tele conference dan fasilitas lainnya, dan generasi kelima yaitu makerspace, perpustakaan tidak saja memberikan fasilitas belajar dari buku namun sebagai tempat untuk mengerjakan sesuatu, mempraktekkan apa yang telah dibaca.
            Pada generasi client focused, mengubah yang semula perpustakaan berfokus pada banyaknya jumlah koleksi serta hampir 50% space digunakan untuk koleksi berubah menjadi berfokus pada memberikan pelayanan terbaik terhadap pemustaka. Pemustaka terasa dimanjakan dengan pelayanan yang berbasis TI, sedangkan pustakawan dapat disebut sebagai “agen perubahan” bagi lingkungannya. Benarkah demikian ? jawabnya ada pada diri pustakawan masing-masing. Namun dengan kehadiran teknologi informasi tersebut, sikap pustakawan ada yang menerima dan menolak. Menolak yang dilakukan oleh pustakawan “konvensional/generasi tua” (tidak semuanya) karena ada yang susah payah belajar menyesuaikan, supaya tidak “gagap teknologi”. Bagi pustakawan yang “alergi perubahan karena teknologi”, secara alamiah terpinggirkan dari arena kompetisi di gelanggang perpustakaan. Sebagai contohnya ketika layanan sudah mengembangkan sistem layanan berbasis TI, kemudian petugasnya belum bisa sepenuhnya mengoperasikan sistem tersebut maka akan menghambat kinerja dan terlebih pemenuhan kepuasan pengguna akan sulit terpenuhi karena ekpektasi pengguna sudah terlalu tinggi. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pustakawan yang kompeten untuk menghadapi hadirnya teknologi informasi di suatu perpustakaan.
            Pada generasi ini, perpustakaan berbasis otomasi perpustakaan, perpustakaan menyediakan katalog online untuk pencarian koleksi, daftar hadir pemustaka menggunakan komputer, serta peminjaman dan pengembalian buku secara online, perpustakaan benar-benar memberikan pelayanan agar dapat memuaskan pemustaka. Perpustakaan juga membuat ruangan perpustakaan lebih menarik, agar pemustaka merasa betah dan nyaman berlama-lama di perpustakaan.
            Teknologi informasi di perpustakaan bukanlah suatu “dewa” yang harus diagung-agungkan dan dipuja-puja, bukan pula “monster atau hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Pemanfaatan teknologi wajib dilakukan untuk memuaskan kebutuhan pemustaka yang semakin beragam. Namun teknologi informasi merupakan investasi mahal dan jangka panjang, hal ini menjadi tantangan bagi pustakawan, di samping harus menghadapi tuntutan pemustaka yang beragam dan menghadapi pimpinan yang sering kurang perhatian dengan perpustakaan.
            Konsep pelayanan menurut Zeithaml (2006), service is all economic activities whole output is not a phisycal product or construction is generally consumed at that time it is produced, and provides value in forms (such as convenience, amusement, comfort or health). Pada generasi kedua ini, kualitas layanan menjadi prioritas utama dalam memberikan layanan yang optimal, karena pada dasarnya layanan bukan hanya dilihat dari banyaknya koleksi yang disediakan, koleksi yang dipinjam maupun koleksi yang dibaca oleh pemustaka. Orientasi kualitas layanan bukan lagi pada jumlah koleksi namun kebutuhan dan kepuasan pengguna dengan pemanfaatan teknologi informasi.

DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Mata Kuliah Manajemen dan Disain Perpustakaan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Zeithaml, Valarie A. Mary Jo Bitner, Dwayne D. Gremler. 2006. Service Marketing : Integrating Customer Focus Across The Firm. Boston : McGraw Hill.




1 komentar:

  1. Client-focused telah memberikan perubahan wajah layanan perpustakaan yang lebih menyenangkan dan lebih efisien. Namun setelah client-focused berlangsung cukup lama kemudian muncul perhatian pada pengalaman. Steve Job, mengatakan bahwa customers do not want products or services, they want experience.

    BalasHapus