Saat ini, berbagai jenis
perpustakaan berlomba-berlomba memanfaatkan teknologi informasi untuk
meningkatkan kualitas pelayanannya. Layanan yang disediakan oleh perpustakaan
guna memenuhi tuntutan pengguna telah menggeser paradigma layanan yang mulanya layanan
bersifat manual atau konvensional menuju layanan berbasis IT. Berbagai
pemanfaatan teknologi informasi pada pelayanan tersebut semata-mata untuk
mengembangkan sistem yang berorientasi pada tuntutan kebutuhan pemustaka. Namun
pustakawan masih melihat tingkat kuantitas pengguna yang datang semakin banyak,
namun tak melihat dari segi loyalitas pemustaka datang ke perpustakaan, selain
itu masih terdapat mindset petugas
yang menyatakan bahwa pengguna datang ke perpustakaan adalah orang-orang yang
membutuhkan koleksi sehingga perpustakaan dianggap sebatas tempat transaksi
peminjaman dan pengembalian koleksi.
Sebagaimana diketahui bahwa terdapat
lima generasi perpustakaan (Priyanto, 2017) : generasi pertama diistilahkan
dengan collection centric, pada generasi
ini yang menjadi fokus utama perpustakaan adalah jumlah koleksi, generasi kedua
yakni client/user focused,
perpustakaan mulai fokus pada layanan dengan memanfaatkan teknologi informasi,
generasi ketiga yaitu experience centered,
perpustakaan memberikan pengalaman yang menyenangkan kepada pengguna,
perpustakaan menyediakan berbagai fasilitas belajar, generasi keempat yakni connected and collaborative learning
experience, perpustakaan menyadari bukan hanya sebagai fasilitator,
penghubung antara koleksi dan pemustaka namun mempertemukan dengan orang-orang
yang “ahli”, perpustakaan memberikan fasilitas tele conference dan fasilitas lainnya, dan generasi kelima yaitu makerspace, perpustakaan tidak saja
memberikan fasilitas belajar dari buku namun sebagai tempat untuk mengerjakan
sesuatu, mempraktekkan apa yang telah dibaca.
Pada generasi client focused, mengubah yang semula perpustakaan berfokus pada
banyaknya jumlah koleksi serta hampir 50% space
digunakan untuk koleksi berubah menjadi berfokus pada memberikan pelayanan terbaik
terhadap pemustaka. Pemustaka terasa dimanjakan dengan pelayanan yang berbasis
TI, sedangkan pustakawan dapat disebut sebagai “agen perubahan” bagi
lingkungannya. Benarkah demikian ? jawabnya ada pada diri pustakawan
masing-masing. Namun dengan kehadiran teknologi informasi tersebut, sikap
pustakawan ada yang menerima dan menolak. Menolak yang dilakukan oleh
pustakawan “konvensional/generasi tua” (tidak semuanya) karena ada yang susah
payah belajar menyesuaikan, supaya tidak “gagap teknologi”. Bagi pustakawan
yang “alergi perubahan karena teknologi”, secara alamiah terpinggirkan dari
arena kompetisi di gelanggang perpustakaan. Sebagai contohnya ketika layanan
sudah mengembangkan sistem layanan berbasis TI, kemudian petugasnya belum bisa
sepenuhnya mengoperasikan sistem tersebut maka akan menghambat kinerja dan
terlebih pemenuhan kepuasan pengguna akan sulit terpenuhi karena ekpektasi
pengguna sudah terlalu tinggi. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pustakawan
yang kompeten untuk menghadapi hadirnya teknologi informasi di suatu
perpustakaan.
Pada generasi ini, perpustakaan berbasis
otomasi perpustakaan, perpustakaan menyediakan katalog online untuk pencarian koleksi, daftar hadir pemustaka menggunakan
komputer, serta peminjaman dan pengembalian buku secara online, perpustakaan benar-benar memberikan pelayanan agar dapat
memuaskan pemustaka. Perpustakaan juga membuat ruangan perpustakaan lebih
menarik, agar pemustaka merasa betah dan nyaman berlama-lama di perpustakaan.
Teknologi informasi di perpustakaan
bukanlah suatu “dewa” yang harus diagung-agungkan dan dipuja-puja, bukan pula
“monster atau hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Pemanfaatan teknologi
wajib dilakukan untuk memuaskan kebutuhan pemustaka yang semakin beragam. Namun
teknologi informasi merupakan investasi mahal dan jangka panjang, hal ini
menjadi tantangan bagi pustakawan, di samping harus menghadapi tuntutan
pemustaka yang beragam dan menghadapi pimpinan yang sering kurang perhatian
dengan perpustakaan.
Konsep pelayanan menurut Zeithaml
(2006), service is all economic
activities whole output is not a phisycal product or construction is generally
consumed at that time it is produced, and provides value in forms (such as
convenience, amusement, comfort or health). Pada generasi kedua ini,
kualitas layanan menjadi prioritas utama dalam memberikan layanan yang optimal,
karena pada dasarnya layanan bukan hanya dilihat dari banyaknya koleksi yang
disediakan, koleksi yang dipinjam maupun koleksi yang dibaca oleh pemustaka.
Orientasi kualitas layanan bukan lagi pada jumlah koleksi namun kebutuhan dan
kepuasan pengguna dengan pemanfaatan teknologi informasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Priyanto,
Ida Fajar. 2017. Mata Kuliah Manajemen
dan Disain Perpustakaan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Zeithaml,
Valarie A. Mary Jo Bitner, Dwayne D. Gremler. 2006. Service Marketing : Integrating Customer Focus Across The Firm.
Boston : McGraw Hill.
Client-focused telah memberikan perubahan wajah layanan perpustakaan yang lebih menyenangkan dan lebih efisien. Namun setelah client-focused berlangsung cukup lama kemudian muncul perhatian pada pengalaman. Steve Job, mengatakan bahwa customers do not want products or services, they want experience.
BalasHapus