Rabu, 08 Maret 2017

Makerspace : Imagine it ! Do it !

Seiring dengan perkembangan zaman, paradigma perpustakaan sebagai ruang fisik (as place) terus mengalami perubahan. Jika dulu perpustakaan hanya dipahami sebagai tempat pengelolaan koleksi, layanan sirkulasi, referensi, serta administrasi, maka sekarang paradigma tersebut sudah bergeser ke arah pemberdayaan sumber daya perpustakaan (library resource), pemberdayaan pemustaka (user), dan inovasi layanan (service). Tren layanan perpustakaan pun saat ini sudah bergeser. Salah satu tren inovasi layanan baru di perpustakaan adalah generasi kelima yakni makerspace (Priyanto:2017). Ide awal untuk mengintegrasikan makerspace sebagai sebuah layanan perpustakaan bermula dari para pustakawan sekolah yang ingin mengoneksikan antara sumber-sumber yang ada di perpustakaan dengan proses pembelajaran (Houston, 2013).
Hasil gambar untuk makerspace
Generasi kelima ini dapat mewujudkan pembelajaran yang kolaboratif dan inovatif. Sebagai sebuah inovasi layanan terbaru di perpustakaan, implementasi makerspace di masing-masing perpustakaan mungkin akan sedikit berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Dalam konsep manajemen pengetahun (knowledge management), keberadaan makerspace di perpustakaan bisa menjadi salah satu cara untuk mengeksplisitkan pengetahuan yang selama ini masih banyak tersimpan di dalam kepala (tacit knowledge). Dengan adanya makerspace, seseorang di perpustakaan tidak hanya bisa membaca saja. Tetapi bisa mempraktikkan apa yang dibaca di dalam makerspace. Mereka bisa saling bertukar ide untuk menciptakan sesuatu.
Dalam makerspace ada sebuah ungkapan, Imagine it! Do it!. Hal ini menunjukkan bahwa dalam makerspace seseorang tidak hanya bebas berimajinasi, tetapi juga bisa langsung menuangkannya dalam karya nyata. Salah satu gambaran aktivitas nyata makerspace di perpustakaan, misalnya adalah ketika seorang membaca buku tentang robot, ia langsung dapat menggunakan alat-alat robotik dan mempraktikan apa yang ia baca. Dengan demikian, seorang anak akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terkait pengetahuan robotik sejak dini. Ia juga bisa menjadi seorang produsen atau pembuat robot dan tidak hanya sekadar menjadi seorang konsumen. Dalam hal ini, makerspace mendorong seseorang untuk aktif, berkolaborasi, dan mengkreasikan ide-ide mereka menjadi sebuah produk nyata (Colegrove, 2013:4). Dalam konteks perpustakaan, desain ataupun tipe makerspace dapat disingkronkan dengan subyek koleksi perpustakaan. Dalam hal ini, keberadaan koleksi menjadi sebuah referensi jika para maker membutuhkan ide baru yang relevan dalam pengembangan produknya. Dengan demikian, perpustakaan bisa menjadi tempat pembelajaran yang kolaboratif dan menciptakan pengalaman baru bagi penggunanya. Sayangnya, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga mengenai makerspace ini.
DAFTAR PUSTAKA
Colegrove, Tod, “Editorial Board Thoughts: Libraries as Makerspace?” dalam Information Technology And Libraries, Maret 2013, hlm.13.
Houston, Cynthia R. 2013. “Ma (Placeholder1)kerspace@your School Library: Consider the Possibilities”.pdf, IASL Conference p.360.
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Yogyakarta : Univ. Gadjah Mada.



1 komentar:

  1. Mengenalkan makerspace di Indonesia membutuhkan waktu karena pada umumnya perpustakaan di Indonesia masih ada di generasi dua atau tiga....

    BalasHapus