Seiring
dengan perkembangan zaman, paradigma perpustakaan sebagai ruang fisik (as place) terus mengalami perubahan.
Jika dulu perpustakaan hanya dipahami sebagai tempat pengelolaan koleksi,
layanan sirkulasi, referensi, serta administrasi, maka sekarang paradigma
tersebut sudah bergeser ke arah pemberdayaan sumber daya perpustakaan (library resource), pemberdayaan
pemustaka (user), dan inovasi layanan
(service). Tren layanan perpustakaan
pun saat ini sudah bergeser. Salah satu tren inovasi layanan baru di
perpustakaan adalah generasi kelima yakni makerspace
(Priyanto:2017). Ide awal untuk mengintegrasikan makerspace sebagai sebuah layanan perpustakaan bermula dari para
pustakawan sekolah yang ingin mengoneksikan antara sumber-sumber yang ada di perpustakaan
dengan proses pembelajaran (Houston, 2013).
Generasi
kelima ini dapat mewujudkan pembelajaran yang kolaboratif dan inovatif. Sebagai
sebuah inovasi layanan terbaru di perpustakaan, implementasi makerspace di masing-masing perpustakaan
mungkin akan sedikit berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan
lainnya. Dalam konsep manajemen pengetahun (knowledge
management), keberadaan makerspace
di perpustakaan bisa menjadi salah satu cara untuk mengeksplisitkan pengetahuan
yang selama ini masih banyak tersimpan di dalam kepala (tacit knowledge). Dengan adanya makerspace,
seseorang di perpustakaan tidak hanya bisa membaca saja. Tetapi bisa
mempraktikkan apa yang dibaca di dalam makerspace.
Mereka bisa saling bertukar ide untuk menciptakan sesuatu.
Dalam
makerspace ada sebuah ungkapan, Imagine it! Do it!. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam makerspace seseorang
tidak hanya bebas berimajinasi, tetapi juga bisa langsung menuangkannya dalam
karya nyata. Salah satu gambaran aktivitas nyata makerspace di perpustakaan, misalnya adalah ketika seorang membaca buku
tentang robot, ia langsung dapat menggunakan alat-alat robotik dan mempraktikan
apa yang ia baca. Dengan demikian, seorang anak akan mendapatkan pemahaman yang
lebih mendalam terkait pengetahuan robotik sejak dini. Ia juga bisa menjadi
seorang produsen atau pembuat robot dan tidak hanya sekadar menjadi seorang
konsumen. Dalam hal ini, makerspace
mendorong seseorang untuk aktif, berkolaborasi, dan mengkreasikan ide-ide
mereka menjadi sebuah produk nyata (Colegrove, 2013:4). Dalam konteks
perpustakaan, desain ataupun tipe makerspace
dapat disingkronkan dengan subyek koleksi perpustakaan. Dalam hal ini,
keberadaan koleksi menjadi sebuah referensi jika para maker membutuhkan ide baru yang relevan dalam pengembangan
produknya. Dengan demikian, perpustakaan bisa menjadi tempat pembelajaran yang
kolaboratif dan menciptakan pengalaman baru bagi penggunanya. Sayangnya, Indonesia
masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga mengenai makerspace ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Colegrove, Tod,
“Editorial Board Thoughts: Libraries as Makerspace?” dalam Information
Technology And Libraries, Maret 2013, hlm.13.
Houston, Cynthia
R. 2013. “Ma (Placeholder1)kerspace@your School Library: Consider the
Possibilities”.pdf, IASL Conference p.360.
Priyanto, Ida
Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Yogyakarta :
Univ. Gadjah Mada.
Mengenalkan makerspace di Indonesia membutuhkan waktu karena pada umumnya perpustakaan di Indonesia masih ada di generasi dua atau tiga....
BalasHapus