Rabu, 29 Maret 2017

Pengalaman Pertama Berkunjung ke Perpustakaan Kota Yogyakarta (review)

Setelah beberapa kali merencanakan untuk berkunjung ke perpustakaan kota jogja, dan hanya menjadi suatu wacana, maka suatu sore saya dan ketiga teman saya berkeinginan untuk berkunjung ke sana agar tidak penasaran, karena setiap kami melewati depan perpustakaan tersebut selalu terlihat ramai akan pengunjung, kok kelihatan nyaman sekali. Perpustakaan kota Jogja berlokasi di Jl. Suroto no. 9 Yogyakarta. Sesampainya di sana, setelah kami memarkir motor, kami masuk ke perpustakaan, di situ kami di sambut dengan mengisi buku data pengunjung perpustakaan. Kemudian kami bertanya password wifi kepada petugas, karena itu memang tujuan pertama kami untuk mencari internet gratis :D, haha.  Petugas kemudian memberikan potongan kertas kecil yang bertuliskan username dan password untuk digunakan login ke wifi, dan menjelaskan bahwa username dan password tersebut hanya berlaku kisaran waktu 2-3 jam an dan hanya dapat berlaku pada satu laptop atau handphone jadi tidak bisa digunakan untuk dua sekaligus. Kami pun sedikit kaget dan bingung mengapa kok aturannya seperti itu. Setelah kami menerima kertas tersebut, kami harus menulis pada buku mengenai nama. Apabila kami menginginkan wifi agar dapat digunakan pada laptop dan HP kami, kami harus meminta dua potongan kertas tersebut agar dapat login. Setelah itu, ketika kami mau meletakkan tas pada loker kami diberi kunci beserta gembok, dan pada gembok tersebut terdapat nomornya, entah apa tujuan dari pemberian nomor tersebut, mungkin agar tidak tertukar atau bagaimana, entahlah.
            Perpustakaan kota Jogja, memiliki dua lantai, dan pada luar ruangan terdapat gazebo-gazebo. Di dalam ruangan perpustakaan ternyata tak begitu luas. Pada sore hari tersebut, pengunjung perpustakaan sangat ramai, yang awalnya kami berniat untuk duduk di luar ruangan, karena perpustakaan tutup jam 20.00, akhirnya kami naik ke lantai 2. Di situ suasananya sangat hening, sehingga kami pun sedikit tidak nyaman untuk mengobrol atau bersenda gurau. Hingga akhirnya setelah maghrib, gazebo pun sedikit longgar, dan kami pun berpindah ke luar ruangan perpustakaan. Kami pun login, ternyata jaringannya kok lemot sekali, kami pun sudah merasa jengkel, dan ternyata juga kursi yang kami duduki pada gazebo dipaku dan tidak bisa di geser apalagi dipindah, wkwk :D, apabila mengantisipasi agar tidak dicuri, akan lebih baik di rantai setidaknya dapat digeser sehingga pengguna merasa nyaman. Dan itu sangat tidak nyaman sekali. Kami pun merasa kecewa sekali, dari awal kok ya ribet untuk username dan password wifi, tidak simple mengapa memakai dua username dan password untuk dapat terhubung ke internet dengan HP dan laptop, kami pun berekspektasi bahwa perpustakaan kota Jogja juga luas, ternyata tak begitu luas.
Gambar 1. Potongan kertas username dan password


Gambar 2. Kunci beserta gembok loker


Gambar 3. Jarak Kursi dan Meja yang Jauh

Gambar 4. Kursi yang dipaku

Gambar 5. Jarak antara kursi dan pagar (hijau) yang sempit

Yah itulah sedikit ulasan mengenai kunjungan pertama saya bersama teman-teman saya ke perpustakaan kota Jogja, semoga bermanfaat. 






Senin, 20 Maret 2017

Preservasi Digital

            Saat ini manusia hidup pada era digital, dimana hampir seluruh kebutuhan informasi mereka dapat diakses melalui teknologi digital. Salah satu isu penting dalam dunia perpustakaan di era informasi ini adalah isu tentang pelestarian digital (digital preservation). Apabila sebagian atau seluruh koleksi perpustakaan tersedia dalam format digital, maka kegiatan preservasi digital menjadi suatu hal yang mutlak dilakukan, hal itu karena menyangkut keberadaan dan keberlangsungan nilai-nilai informasi. Suatu informasi menjadi bernilai ketika mudah dicari dan ditemukan kembali. Preservasi digital bertujuan agar informasi yang tersimpan dalam format digital dapat diakses dengan mudah dan tersedia dalam jangka waktu yang lama.
Preservasi digital adalah proses memilih, mengadakan, mengolah, melayankan, serta memelihara dokumen atau data digital sehingga dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama secara internal oleh publik sesuai dengan kaidah, norma dan kode etik yang berlaku (Mustafa:2008). Sedangkan menurut Wendy Smith (Purwono:2009), preservasi adalah semua kegiatan yang bertujuan memperpanjang umur bahan pustaka dan informasi yang ada di dalamnya. Preservasi digital berbeda dengan preservasi non digital. Kandungan informasi pada bahan pustaka tercetak dapat dilestarikan dengan merawat fisik kertas dan kemasannya, sedangkan informasi digital tidak saja melekat pada objek fisiknya, tetapi juga merupakan suatu yang harus dijalankan dengan memakai suatu perangkat lunak dan perangkat keras. Dengan demikian, preservasi digital tidak semata-mata dengan cara melestarikan objek fisiknya, tetapi juga dengan cara menjamin penggunaan mesin dalam ruang waktu yang sepanjang mungkin. Beberapa hal yang mendorong perlunya melakukan preservasi digital adalah :
1.   Informasi dalam bentuk materi digital sulit bertahan dalam jangka waktu lama, hal ini disebabkan karena kadaluarsanya perangkat lunak dan perangkat keras yang dipakai untuk membaca materi digital karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, kerusakan mekanis pada perangkat keras, serangan virus dan hacker.
2.   Apabila materi digital hilang, terjadi secara tiba-tiba tanpa ada warning sebelumnya dan hilangnya materi digital tanpa bekas (permanently).
3.   Masalah-masalah yang berkaitan dengan keontetikan (authenticity) naskah dan hak cipta (authorship) materi digital lebih kompleks dibandingkan dengan bahan pustaka tercetak karena materi mudah diubah dan dapat di copy secara luas.

Adapun strategi preservasi digital adalah :
1.   Preservasi teknologi, merupakan tindakan pemeliharaan terhadap software dan hardware yang mendukung sumber daya (koleksi) digital untuk membaca atau menjalankan sebuah objek digital.
2.   Refreshing perawatan dengan mencermati usia media sehingga perlu pemindahan data dari media yang satu ke media lainnya, kelebihan dari strategi ini adalah mudah diterapkan dan resiko kehilangan data dalam proses pemindahan data sangat kecil.
3.   Migration dan Reformatting mengubah konfigurasi data digital tanpa mengubah kandungan isi intelektualnya, strategi migrasi ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.
4.   Emulation proses penyegaran di lingkungan sistem, yakni secara teoritis dapat dilakukan pembuatan ulang secara berkala terhadap program komputer tertentu agar dapat terus membaca data digital yang terekam dalam berbagai format dari berbagai versi.
5.   Digital archeology, menyelamatkan isi dokumen yang tersimpan dalam media penyimpanan ataupun perangkat keras dan perangkat lunak yang sudah rusak, sehingga isi dokumen tersebut tetap dapat digunakan. Strategi ini merupakan strategi dengan biaya yang rendah tetapi memiliki resiko yang tinggi, karena dengan hanya memperbaharui media penyimpanannya terdapat kemungkinan data tersebut tidak akan terbaca ketika perpustakaan telah menggunakan teknologi yang baru.
6.   Mengubah data digital menjadi analog. Untuk mempertahankan koleksi digital agar dapat diakses oleh pengguna, koleksi digital dapat dialih bentukkan ke dalam media analog. Selain dialihkan ke dalam bentuk mikrofilm, strategi ini dapat dilakukan dengan membuat printout atau mencetak kembali dokumen yang telah didigitasi.
Berkaitan dengan perkembangan konsep perpustakaan digital, pelestarian pun menjadi hal yang harus diperhatikan. Kegiatan pelestarian ini menjadi suatu hal yang wajib atau mutlak terutama mengingat pertumbuhan produk digital yang amat pesat. Dalam konteks ini maka semua jenis pelestarian termasuk pelestarian digital adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk menjaga isi/kandungan dari sebuah dokumen digital agar sebuah objek digital dapat terus dipakai selama mungkin. Kegiatan preservasi digital sebenarnya adalah memastikan informasi yang tersimpan dalam media digital tersebut tetap dapat diakses oleh siapapun yang memerlukannya baik di masa kini ataupun di masa yang akan datang. Pelestarian digital dan non digital berbeda, oleh karena itu terdapat beberapa strategi dalam preservasi digital agar dalam  prakteknya dapat mempertimbangkan resiko-resiko. Oleh karena itu ketika akan melakukan digitasi dokumen, hendaknya sudah dipikirkan pula preservasi dokumen tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Chowdhurry, G. G. 2001. Introduction to Digital Libraries. London : Facet Publishing.
Purwono. 2009. Dasar-dasar Dokumentasi : Pelestarian Dokumen. Jakarta : Universitas Terbuka.

Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital : Dari A Sampai Z. Jakarta : Citra Karyakarsa Mandiri. 

Rabu, 08 Maret 2017

Makerspace : Imagine it ! Do it !

Seiring dengan perkembangan zaman, paradigma perpustakaan sebagai ruang fisik (as place) terus mengalami perubahan. Jika dulu perpustakaan hanya dipahami sebagai tempat pengelolaan koleksi, layanan sirkulasi, referensi, serta administrasi, maka sekarang paradigma tersebut sudah bergeser ke arah pemberdayaan sumber daya perpustakaan (library resource), pemberdayaan pemustaka (user), dan inovasi layanan (service). Tren layanan perpustakaan pun saat ini sudah bergeser. Salah satu tren inovasi layanan baru di perpustakaan adalah generasi kelima yakni makerspace (Priyanto:2017). Ide awal untuk mengintegrasikan makerspace sebagai sebuah layanan perpustakaan bermula dari para pustakawan sekolah yang ingin mengoneksikan antara sumber-sumber yang ada di perpustakaan dengan proses pembelajaran (Houston, 2013).
Hasil gambar untuk makerspace
Generasi kelima ini dapat mewujudkan pembelajaran yang kolaboratif dan inovatif. Sebagai sebuah inovasi layanan terbaru di perpustakaan, implementasi makerspace di masing-masing perpustakaan mungkin akan sedikit berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Dalam konsep manajemen pengetahun (knowledge management), keberadaan makerspace di perpustakaan bisa menjadi salah satu cara untuk mengeksplisitkan pengetahuan yang selama ini masih banyak tersimpan di dalam kepala (tacit knowledge). Dengan adanya makerspace, seseorang di perpustakaan tidak hanya bisa membaca saja. Tetapi bisa mempraktikkan apa yang dibaca di dalam makerspace. Mereka bisa saling bertukar ide untuk menciptakan sesuatu.
Dalam makerspace ada sebuah ungkapan, Imagine it! Do it!. Hal ini menunjukkan bahwa dalam makerspace seseorang tidak hanya bebas berimajinasi, tetapi juga bisa langsung menuangkannya dalam karya nyata. Salah satu gambaran aktivitas nyata makerspace di perpustakaan, misalnya adalah ketika seorang membaca buku tentang robot, ia langsung dapat menggunakan alat-alat robotik dan mempraktikan apa yang ia baca. Dengan demikian, seorang anak akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terkait pengetahuan robotik sejak dini. Ia juga bisa menjadi seorang produsen atau pembuat robot dan tidak hanya sekadar menjadi seorang konsumen. Dalam hal ini, makerspace mendorong seseorang untuk aktif, berkolaborasi, dan mengkreasikan ide-ide mereka menjadi sebuah produk nyata (Colegrove, 2013:4). Dalam konteks perpustakaan, desain ataupun tipe makerspace dapat disingkronkan dengan subyek koleksi perpustakaan. Dalam hal ini, keberadaan koleksi menjadi sebuah referensi jika para maker membutuhkan ide baru yang relevan dalam pengembangan produknya. Dengan demikian, perpustakaan bisa menjadi tempat pembelajaran yang kolaboratif dan menciptakan pengalaman baru bagi penggunanya. Sayangnya, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga mengenai makerspace ini.
DAFTAR PUSTAKA
Colegrove, Tod, “Editorial Board Thoughts: Libraries as Makerspace?” dalam Information Technology And Libraries, Maret 2013, hlm.13.
Houston, Cynthia R. 2013. “Ma (Placeholder1)kerspace@your School Library: Consider the Possibilities”.pdf, IASL Conference p.360.
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Yogyakarta : Univ. Gadjah Mada.



Jenis Koleksi Perpustakaan Digital

            Perkembangan perpustakaan tidak pernah lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Hal ini dikarenakan perpustakaan sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Perpustakaan memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan melalui penyimpan berbagai informasi dan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan teknologi informasi memberikan dukungan pada kemudahan akses dan sistem informasi dalam sebuah perpustakaan. Salah satu hal yang saat ini sangat diperhatikan oleh perpustakaan adalah pengembangan koleksi digital. Koleksi digital dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni born digital, dari awal terpublikasi dalam bentuk digital, dan digital surrogate merupakan bentuk lain dari objek fisik atau teks, misalnya dengan didigitasikan (Priyanto:2017).
Hasil gambar untuk jenis koleksi perpustakaan digital
            Saat komputer menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan kita, maka materi-materi born digital ini semakin banyak. Di beberapa bidang, materi digital seringkali tak tergantikan oleh materi lainnya, atau akan menjadi terlalu merepotkan apabila diubah menjadi bentuk lain, misalnya materi-materi yang dihasilkan oleh program computer aided design untuk membuat model-model produk di dunia industri dalam bentuk gambar digital tiga dimensi untuk dilihat pada layar, para arsitek dan perancang produk saat ini sangat bergantung pada materi digital seperti itu. Para pustakawan, akhirnya perlu memikirkan bagaimana cara terbaik menyimpan materi-materi seperti itu. Dengan kehadiran materi digital yang mulai membludak, diharapkan pustakawan dapat memahami beberapa hal pokok, misalnya perbedaan antara karya (work), perwujudan (manifestation), dan berkas komputer (computer file). Banyak perpustakaan kini mengurus buku yang memiliki wujud alias manifestasi digital, sehingga harus disimpan dan dikelola secara khusus, bersama-sama dengan karya yang benar-benar hanya berbentuk digital atau sering juga dikategorikan sebagi single manifestation work.  
            Sebagian besar karya digital (digital works) di WorldCat (yakni karya yang setidaknya memiliki satu manifestasi digital) adalah karya yang born digital, dan atau karya yang digital yang tidak diketahui apakah memiliki bentuk lainnya atau tidak. Misalnya, sebuah gambar digital seringkali sebenarnya memiliki bentuk asli dalam bentuk tercetak, tetapi siapa yang menyimpan bentuk itu, dan apakah ada katalognya? Hal-hal yang tampaknya remeh seperti ini seringkali akhirnya menimbulkan persoalan, terutama dalam hal penyimpanan untuk waktu lama atau preservasi digital.
DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Perpustakaan Digital. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

             

Kamis, 02 Maret 2017

Client Focused

            Saat ini, berbagai jenis perpustakaan berlomba-berlomba memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Layanan yang disediakan oleh perpustakaan guna memenuhi tuntutan pengguna telah menggeser paradigma layanan yang mulanya layanan bersifat manual atau konvensional menuju layanan berbasis IT. Berbagai pemanfaatan teknologi informasi pada pelayanan tersebut semata-mata untuk mengembangkan sistem yang berorientasi pada tuntutan kebutuhan pemustaka. Namun pustakawan masih melihat tingkat kuantitas pengguna yang datang semakin banyak, namun tak melihat dari segi loyalitas pemustaka datang ke perpustakaan, selain itu masih terdapat mindset petugas yang menyatakan bahwa pengguna datang ke perpustakaan adalah orang-orang yang membutuhkan koleksi sehingga perpustakaan dianggap sebatas tempat transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi.
Hasil gambar untuk pengguna perpustakaan duduk di sofa perpustakaan
            Sebagaimana diketahui bahwa terdapat lima generasi perpustakaan (Priyanto, 2017) : generasi pertama diistilahkan dengan collection centric, pada generasi ini yang menjadi fokus utama perpustakaan adalah jumlah koleksi, generasi kedua yakni client/user focused, perpustakaan mulai fokus pada layanan dengan memanfaatkan teknologi informasi, generasi ketiga yaitu experience centered, perpustakaan memberikan pengalaman yang menyenangkan kepada pengguna, perpustakaan menyediakan berbagai fasilitas belajar, generasi keempat yakni connected and collaborative learning experience, perpustakaan menyadari bukan hanya sebagai fasilitator, penghubung antara koleksi dan pemustaka namun mempertemukan dengan orang-orang yang “ahli”, perpustakaan memberikan fasilitas tele conference dan fasilitas lainnya, dan generasi kelima yaitu makerspace, perpustakaan tidak saja memberikan fasilitas belajar dari buku namun sebagai tempat untuk mengerjakan sesuatu, mempraktekkan apa yang telah dibaca.
            Pada generasi client focused, mengubah yang semula perpustakaan berfokus pada banyaknya jumlah koleksi serta hampir 50% space digunakan untuk koleksi berubah menjadi berfokus pada memberikan pelayanan terbaik terhadap pemustaka. Pemustaka terasa dimanjakan dengan pelayanan yang berbasis TI, sedangkan pustakawan dapat disebut sebagai “agen perubahan” bagi lingkungannya. Benarkah demikian ? jawabnya ada pada diri pustakawan masing-masing. Namun dengan kehadiran teknologi informasi tersebut, sikap pustakawan ada yang menerima dan menolak. Menolak yang dilakukan oleh pustakawan “konvensional/generasi tua” (tidak semuanya) karena ada yang susah payah belajar menyesuaikan, supaya tidak “gagap teknologi”. Bagi pustakawan yang “alergi perubahan karena teknologi”, secara alamiah terpinggirkan dari arena kompetisi di gelanggang perpustakaan. Sebagai contohnya ketika layanan sudah mengembangkan sistem layanan berbasis TI, kemudian petugasnya belum bisa sepenuhnya mengoperasikan sistem tersebut maka akan menghambat kinerja dan terlebih pemenuhan kepuasan pengguna akan sulit terpenuhi karena ekpektasi pengguna sudah terlalu tinggi. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pustakawan yang kompeten untuk menghadapi hadirnya teknologi informasi di suatu perpustakaan.
            Pada generasi ini, perpustakaan berbasis otomasi perpustakaan, perpustakaan menyediakan katalog online untuk pencarian koleksi, daftar hadir pemustaka menggunakan komputer, serta peminjaman dan pengembalian buku secara online, perpustakaan benar-benar memberikan pelayanan agar dapat memuaskan pemustaka. Perpustakaan juga membuat ruangan perpustakaan lebih menarik, agar pemustaka merasa betah dan nyaman berlama-lama di perpustakaan.
            Teknologi informasi di perpustakaan bukanlah suatu “dewa” yang harus diagung-agungkan dan dipuja-puja, bukan pula “monster atau hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Pemanfaatan teknologi wajib dilakukan untuk memuaskan kebutuhan pemustaka yang semakin beragam. Namun teknologi informasi merupakan investasi mahal dan jangka panjang, hal ini menjadi tantangan bagi pustakawan, di samping harus menghadapi tuntutan pemustaka yang beragam dan menghadapi pimpinan yang sering kurang perhatian dengan perpustakaan.
            Konsep pelayanan menurut Zeithaml (2006), service is all economic activities whole output is not a phisycal product or construction is generally consumed at that time it is produced, and provides value in forms (such as convenience, amusement, comfort or health). Pada generasi kedua ini, kualitas layanan menjadi prioritas utama dalam memberikan layanan yang optimal, karena pada dasarnya layanan bukan hanya dilihat dari banyaknya koleksi yang disediakan, koleksi yang dipinjam maupun koleksi yang dibaca oleh pemustaka. Orientasi kualitas layanan bukan lagi pada jumlah koleksi namun kebutuhan dan kepuasan pengguna dengan pemanfaatan teknologi informasi.

DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Mata Kuliah Manajemen dan Disain Perpustakaan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Zeithaml, Valarie A. Mary Jo Bitner, Dwayne D. Gremler. 2006. Service Marketing : Integrating Customer Focus Across The Firm. Boston : McGraw Hill.




Jumat, 24 Februari 2017

Metadata Object Description Schema

            Metadata secara sederhana dapat diartikan data tentang data (data about data). Metadata yaitu informasi dengan nilai tambah yang memungkinkan objek informasi diidentifikasi, direpresentasi, dikelola, diakses, dan dipreservasi (Priyanto:2017). Taylor menyebutkan bahwa metadata adalah, structure data which describes the characteristic of resource. It share many place in libraries, museums, and archives. A metadata record consist of a number of pre-defined elements representing specifics at or more values (Taylor:2003). Metadata are structure, encoded data that describe characteristics of information bearing entities to aid in the identification, discovery, assessment, and management of the described (ALA). Ada 3 jenis metadata :
1. Metadata deskriptif, data yang dapat mengidentifikasi sumber informasi sehingga dapat digunakan untuk memperlancar proses penemuan dan seleksi. Cakupan yang ada pada data ini adalah pengarang, judul, tahun terbit, tajuk subjek atau kata kunci dan informasi lain yang proses pengisian datanya sama dengan katalog tradisional.
2. Metadata administratif, data yang tidak hanya dapat mengidentifikasi sumber informasi tapi juga cara pengelolaanya. Cakupan dari data ini adalah sama dengan data deskriptif hanya saja ditambah dengan pembuat data, waktu pembuatan, tipe file, data teknis lain. Selain itu data ini juga mengandung informasi tentang hak akses, hak kekayaan intelektual, penyimpanan dan pelestarian sumber informasi.
3. Metadata Struktural, data yang dapat membuat antara data yang berkaitan dapat saling berhubungan satu sama lain. Secara lebih jelas, Metadata ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara berkas fisik dan halaman, halaman dan bab dan bab dengan buku sebagai produk akhir.
            Standar-standar yang digunakan dalam skema metadata, antara lain: 1. CDWA (Categories for Descriptions of Works of Art): skema untuk deskripsi karya seni 2. DCMES (Dublin Core Metadata Element Set): skema umum untuk deskripsi beraneka ragam sumber digital 3. EAD (Encoded Archival Description): skema untuk menciptakan sarana temu kembali bahan kearsipan (archival finding aids) dalam bentuk elektronik. 4. GEM (Gateway to Educational Materials): skema untuk bahan pendidikan dan pengajaran 5. MPEG (Moving Pictures Experts Group) MPEG-7 dan MPEG-21: standar untuk rekaman audio dan video dalam bentuk digital. 6. ONIX (Online Information Exchange), untuk data bibliografi lingkungan penerbit dan pedagang buku 7. TEI (Text Encoding Initiative): panduan untuk encoding teks dalam bentuk elektronik menggunakan SGML dan XML, khususnya untuk kalangan peneliti teks bidang humaniora. 8. VRA (Visual Resources Association) Core: skema untuk deskripsi karya visual dan representasinya 9. METS (Metadata Encoding and Transmission Standard): skema metadata untuk obyek digital kompleks yang tersimpan dalam koleksi perpustakaan 10. MARC (Machine Readable Cataloguing): skema yang digunakan di lingkungan perpustakaan sejak tahun 1960-an untuk membuat cantuman bibliografi elektronik standar 11. MODS (Metadata Object Description Standard): skema untuk deskripsi rinci sumber-sumber elektronik.
             MODS ini dikelola oleh Network Dvelopment and MARC Standards Office dari Library of Congress dibantu oleh pakar-pakar bidang pengawasan bibliografi serta berbagai masukan dari para pengguna. MODS ini dikembangkan sebagai respon terhadap keluhan bahwa skema Dublin core terlampau sederhana untuk lingkungan perpustakaan, sedangkan format MARC 21 terlalu kompleks dan kurang bersahabat bagi pengguna di luar sistem perpustakaan .
Hasil gambar untuk metadata
Standar metadata MODS dikembangkan oleh Library of Congress Network Development bekerjasama dengan MARC standar office. MODS lebih diutamakan untuk menyimpan data deskripsi sumber-sumber digital dan elektronik. Untuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini MODS merupakan sebuah pilihan tepat. MODS dikembangkan menggunakan kombinasi antara standar deskripsi pada MARC (AACR2) dengan standar encoding menggunakan bahasa XML (eXtensible Markup Language). XML dipilih karena encoding-nya lebih bersifat fleksibel, dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan, dan merupakan sebuah sistem yang bersifat open-sources (tidak berbayar). Keunggulan dari skema MODS ini antara lain: a. Tags yang digunakan berupa teks dan tidak menggunakan numeric b. Elemen-elemen dalam MODS paralel dengan MARC, sehingga mencakup standar dalam sebuah deskripsi di perpustakaan c. Deskripsi dari elemen-elemen MODS bisa diperbaharui dan dikembangkan d. Menggunakan skema XML yang lebih bersifat fleksibel e. Cakupan jauh lebih luas dibandingkan Dublin Core. MODS terdiri dari 20 top-elemen yang merupakan kombinasi dari elemen-elemen MARC. Top-elemen dalam MODS tersebut kemudian dikembangkan menjadi 47 sub-elemen. Elemen-elemen yang termuat dalam MODS, antara lain: keterangan judul, nama, jenis sumber, genre, keterangan publikasi, deskripsi fisik, bahasa, abstrak, daftar isi, catatan, subjek, dan elemen-elemen lainnya.
Dalam mengembangkan sebuah skema metadata yang mampu memenuhi kebutuhan seluruh jenis perpustakaan, perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut ini, a. Menentukan aspek mana dari standar encoding untuk metadata yang harus dipertahankan dan dikembangkan menjadi format masa depan. Seperti contoh, MARC 21 akan dipertimbangkan, sebab jutaan cantuman telah tersimpan dalam format ini. Standar lain akan dipelajari pula. b. Bereksperimen dengan Semantic Web dan teknologi linked data untuk melihat apa kegunaannya bagi pengelolaan data bibliografi dan bagaimana model-model sekarang harus disesuaikan agar bisa memanfaatkan kegunaan ini. c. Mendorong penggunaan ulang metadata perpustakaan di lingkungan web yang lebih luas, sehingga pengguna (end user) akan mendapatkan metadata yang berkualitas. d. Memungkinkan pengguna menjelajahi hubungan-hubungan antara berbagai entitas, seperti orang, tempat, organisasi, dan konsep, agar bisa menelusur dengan lebih akurat, baik di katalog perpustakaan, maupun internet. Model data yang tampaknya bagus, seperti FRBR (Functional Requirements for Bibliographic Records) untuk bernavigasi antar hubungan, akan dipertimbangkan untuk digunakan. e. Mempelajari berbagai cara baru yang dapat digunakan untuk menampilkan metadata, sehingga tidak selalu perlu menggunakan sistem berbasis MARC. f. Mengidentifikasi risiko apabila melakukan perubahan, risiko apabila tidak berbuat apa-apa. Termasuk menilai cepat-lambatnya membuat perubahan. Apakah harus maju langkah demi langkah, atau bertindak lebih berani, lebih cepat? g. Membuat rencana untuk mengintegrasikan metadata yang telah ada ke dalam sistem bibliografi baru (dalam infrastruktur teknis yang lebih luas dari LC). Hal ini sangat penting mengingat besarnya nilai dan jumlah pangkalan data lama, warisan sistem dan standar sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA:
Alemneh, Daniel Gelaw. 2007. An Introduction to MODS: The Metadata Object Description Schema. USA: [n.m].
McCallum, Sally H. 2004. An Introduction to The Metadata Object Description Schema (MODS).
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Mata Kuliah Perpustakaan Digital. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Taylor, Arlene.G. 2004. The Organization of Information. London: Library Unlimited.


Selasa, 21 Februari 2017

Generasi Perpustakaan

Setiap orang mempunyai kesan dan penilaian sendiri-sendiri tentang suatu objek tertentu. Begitu pula kesan atau penilaian seseorang terhadap perpustakaan tentu sangat beragam, tergantung dari pengalaman, pengetahuan, dan latar belakang orang tersebut tentang perpustakaan. Mungkin ketika masa kita sekolah, kita memiliki pengalaman tentang perpustakaan sebagai tempat yang harus senyap, sepi, kaku, petugas yang galak, dan lain sebagainya. Perkembangan teknologi informasi semakin menggempur kita seakan pula mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Melihat fenomena tersebut sudah semestinya perpustakaan berbenah diri untuk bertransformasi menjadi perpustakaan yang mengikuti perkembangan zaman dan trend perubahan sikap dan perilaku pemustakanya. Harapannya perpustakaan bisa bermain atau berperan pada segala masa, dinamis terhadap perubahan yang terjadi sehingga tidak ditinggalkan oleh para pemustaka atau masyarakat anggotanya. Jangan sampai perkembangan yang terjadi diluar perpustakaan menjadi tidak sejalan dengan perkembangan di dalam perpustakaan sendiri.
Apabila melihat perkembangan perpustakaan yang ada maka terdapat lima generasi perpustakaan “library as space” (Priyanto:2017), dimana generasai disini tidak dimaksudkan merujuk pada kronologi waktu. Adapun secara singkat kelima generasi tersebut adalah:
1.      Generasi pertama adalah perpustakaan masih sebagai “Collection Centris”, atau dapat dikatakan bahwa fokus perhatian perpustakaan adalah pada koleksi. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui space ruang koleksi atau rak penyimpanan buku mendominasi ruang perpustakaan. Space untuk user lebih kecil dibanding space koleksi.
2.      Generasi kedua adalah “Client Focused”, perpustakaan generasi kedua tidak lagi berfokus pada koleksi tetapi pada layanan atau fokusnya pada pengguna atau user, misalnya ditandai dengan penggunaan teknologi dalam layanan perpustakaan, space untuk user lebih mendominasi daripada space koleksi.
3.      Generasi ketiga adalah perpustakaan sebagai “Experience Center”, merupakan pengembangan dari generasai kedua, dimana seorang user ketika masuk ke perpustakaan akan menemukan suatu pengalaman baru yang tidak ditemukan pada perpustakaan umumnya, ada rasa yang berbeda. Misalnya: tersedia cafĂ© perpustakaan, tidak terlalu banyak larangan-larangan di perpustakaan, tersedia aneka fasilitas dan layanan dalam perpustakaan (movie, gym, arena bermain, dsb),display buku yang tidak monoton, dan sebagainya.
4.      Generasi keempat adalah perpustakaan sebagai “Connected Learning Experience”, perpustakaan menyediakan fasilitas yang memungkinkan user untuk belajar secara bersama baik dalam lingkungan perpustakaan maupun diluar lingkungan perpustakaan, misalnya menyediakan layar lebar untuk fasilitas belajar bersama.
5.      Generasi kelima atau generasi terakhir adalah “Library as Makerspace”, artinya bahwa perpustakaan selain menyediakan buku sebagai bahan bacaan juga menyediakan sarana praktik dari pembahasan dari suatu bacaan tersebut. Misalnya ada buku tentang merajut, maka perpustakaan menyediakan fasilitas praktik atau latihan merajut.
 Sudah bukan masanya lagi perpustakaan dianggap sebagai tempat yang ga asik dan kekunoan karena ternyata di beberapa tempat, perkembangan perpustakaan “library as place” sudah memasuki generasi kelima. Perubahan perpustakaan kearah yang lebih baik pasti akan bisa terwujud, salah satunya tergantung pada komitmen dan kesungguhan pustakawan untuk berubah. Terletak di generasi berapa perpustakaan kita saat ini, menjadi refleksi kita untuk dapat merenda perpustakaan menjadi lebih baik.  Implikasi redefinisi perpustakaan terlihat dari perubahan koleksi, inovasi, dan space lebih luas. Standard ruang  3,5 m2 setiap pemustaka, dapat dihitung butuh berapa meter persegi luas perpustakaan. Perlu proses dan tentu saja kerja keras untuk mencapai pada generasi kelima ini. Setidaknya pola pikir pustakawan sudah sampai pada generasi kelima.  Pustakawan itu memang harus punya jiwa entrepreneurship jadi tangguh dalam menghadapi segala tantangan.
Jadi..masuk dalam generasi berapa perpustakaan yang  ada di sekitar kita ?


DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2017. Materi Mata Kuliah Manajemen Disain dan Perpustakaan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.





Sabtu, 18 Februari 2017

Sejarah Perpustakaan Digital

                 Pada tahun 1945 Vannevar Bush menulis artikel dengan judul “As We May Think” tentang impiannya berupa sebuah “meja kerja” untuk para ilmuwan yang diberi nama MEMEX (baca: “mi.meks”). Meja ini memiliki layar kaca dan merupakan sebuah “mesin memori‟ yang dapat menyimpan semua berkas, artikel, buku bacaan, dan surat menyurat seorang ilmuwan. Pemilik mesin ini akan bekerja seperti mengetik, membaca, memeriksa, menganalisis dengan berbagai berkas yang tersimpan dalam “meja kerja‟ tersebut yang saling berhubungan satu sama lain secara otomatis. Dia dapat membuka berkas yang akan dibaca, membuka berkas yang akan ditulis, dan menutupnya kembali jika sudah tidak dibutuhkannya (Pendit, 2009 : 13). Pikiran Bush ini muncul akibat penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Intinya adalah Bush ingin agar informasi atau ilmu pengetahuan yang ada dalam berbagai bentuk dan format tersebut dapat diorganisasikan supaya dapat dengan mudah disimpan dan ditemukan kembali apabila diperlukan.
            Perkembangan perpustakaan digital dimulai dengan otomasi perpustakaan dimana fungsi-fungsi perpustakaan dikerjakan dengan bantuan komputer. Otomasi perpustakaan ini mulai berkembang pada tahun 1980an. Namun, pada saat itu hanya perpustakaan-perpustakaan besar saja yang menerapkan otomasi perpustakaan mengingat biaya investasinya yang begitu besar. Pada tahun 1980an sudah dimulai adanya upaya untuk mengintegrasikan teks lengkap pada basis data elektronik. Library of Congress di Amerika yang telah mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional perpustakaan. Pada awal 1990-an berkembang perangkat lunak yang meng”otomasi” hampir seluruh fungsi perpustakaan seperti online public access catalogue (OPAC), kontrol sirkulasi, pengadaan bahan perpustakaan, interlibrary loan (ILL) atau pinjam antar perpustakaan, manajemen koleksi, manajemen keanggotaan, dan lain-lain. Dengan pengembangan jaringan lokal (Local Area Network/LAN) dan jaringan yang lebih luas (Wide Area Network/WAN) pada periode ini komunikasi antarperpustakaan dapat dilakukan dengan mudah dan lancar. Fasilitas online searching atau penelusuran informasi jarak jauh dengan teknologi peer to peer juga berkembang. Pada periode ini kita kenal layanan online searching dari DIALOG, DATA STAR, MEDLINE dan lain-lain.
                Di Indonesia sendiri perkembangan teknologi informasi yang mendasari pengembangan otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital ini dimulai pada akhir 1970an dengan dicanangkannya jaringan kerjasama IPTEK berbasis komputer yang dikenal dengan nama IPTEKNET (Saleh : 2014). Pada dekade 1980an dibentuk jaringan perguruan tinggi yang dikenal dengan nama University Network atau UNINET. Otomasi perpustakaan di Indonesia dimulai oleh Perpustakaan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perpustakaan Lembaga Manajemen Kelistrikan (LMK) dengan memelopori penggunaan komputer pribadi (Personal Computer/PC) untuk pengelolaan perpustakaan (Saleh : 2014). Akhir tahun 1980an banyak perpustakaan menggunakan CDS/ISIS dalam mengelola data bibliografinya. Seperti diketahui CDS/ISIS versi DOS dirilis pertama kali oleh UNESCO pada tahun 1986. Pada akhir 1980an sampai 1990an banyak perpustakaan di Indonesia memulai otomasi diantaranya seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) melalui proyek Bank Dunia XXI yang dikoordinasi oleh UKKP (Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan) membeli perangkat lunak Dynix (Saleh : 2014). Tidak mau kalah, Perpustakaan Nasional juga membeli perangkat lunak VTLS dan VTLS versi “micro”nya disebarkan ke Perpustakaan Nasional Provinsi di seluruh Indonesia. Departemen Agama juga “membagikan” perangkat lunak untuk manajemen perpustakaan yang diberi nama INSIS dan dibuat oleh PT Cursor Informatics kepada seluruh IAIN di Indonesia. Setelah itu, berkembang perangkat-perangkat lunak untuk otomasi perpustakaan seperti Spectra oleh UK Petra Surabaya, SIPISIS oleh Perpustakaan IPB, Adonis oleh Perpustakaan Universitas Andalas, ISISonline dan GDL oleh Perpustakaan ITB, Laser oleh perpustakaan UMM, Digilib oleh perpustakaan USU, BDeL oleh Universitas Bina Darma Palembang, LEIC oleh Universitas Syah Kuala, LEIC oleh Politeknik Negeri Sriwijaya, Digital Library oleh Widya Mandala Surabaya, LONTAR oleh Universitas Indonesia dan masih banyak lagi pihak-pihak yang mengembangkan perangkat lunak sejenis (Saleh : 2014). Ada juga perangkat lunak yang dikembangkan oleh vendor yang murni komersial, sebut saja NCI Bookman oleh PT Nuansa Cerah Informasi, SIMPUS dan lain-lain. Dengan berkembangnya perangkat lunak “open source” ada beberapa lembaga yang juga ikut bermain dalam pengembangan perangkat lunak pengelolaan otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital. Kita bisa menyebut SLiMS atau Senayan Library and Information Management System sebagai salah satu produk “open source” yang diproduksi oleh Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional di Senayan. Sebenarnya ISISOnline dan GDL juga dirilis sebagai perangkat lunak “open source” (Saleh : 2014).
                Adapun kelebihan perpustakaan digital dibandingkan dengan perpustakaan konvensional antara lain (Saleh : 2014)  :
a.       Menghemat ruangan
Koleksi perpustakaan digital adalah dokumen-dokumen berbentuk digital maka penyimpanannya akan sangat efisien. Hardisk dengan kapasitas 30 GB (sekarang ukuran standar hardisk adalah 140 GB) dapat berisi e-book sebanyak 10.000 – 12.000 judul (eksemplar) dengan jumlah halaman buku rata-rata 500 – 1.000 halaman. Jumlah ini sama dengan jumlah seluruh koleksi buku dari perpustakaan ukuran kecil sampai sedang. Sementara itu, perpustakaan konvensional yang koleksinya berupa buku atau dokumen tercetak memerlukan ruangan yang besar. Untuk jumlah buku yang sama yaitu 12.000 judul (eksemplar) maka diperlukan luas ruangan kira-kira 50–100 meter persegi (hanya untuk menempatkan fisik buku saja).
b.      Akses ganda (Multiple access)
Kekurangan perpustakaan konvensional adalah akses terhadap koleksinya bersifat tunggal. Artinya apabila ada sebuah buku dipinjam oleh seorang anggota perpustakaan maka anggota yang lain yang akan meminjam harus menunggu buku tersebut dikembalikan terlebih dahulu. Koleksi digital tidak demikian. Setiap pemakai dapat secara bersamaan menggunakan sebuah koleksi buku digital yang sama baik untuk dibaca maupun untuk diunduh atau dipindahkan ke komputer pribadinya (download). Pada perpustakaan konvensional konsep “pinjam buku” adalah membawa buku tersebut secara fisik ke luar dari perpustakaan, dan dengan demikian maka perpustakaan tersebut “kehilangan” secara fisik koleksinya jika ada yang meminjam, sementara konsep meminjam pada perpustakaan digital pengguna dapat mengunduh (download) salinan (copy) sebuah buku elektronik, sedangkan buku elektronik aslinya tetap berada pada server perpustakaan. Dengan demikian, perpustakaan bisa “meminjamkan” koleksi buku elektronik dalam jumlah banyak sekaligus kepada pengguna perpustakaan digital secara bersamaan, bahkan mungkin pustakawan tidak pernah tahu jumlah buku elektronik yang “dipinjam” oleh pemakainya (tentu saja dengan menambah fasilitas counter hal ini dapat diatasi dan pustakawan bisa menghitung jumlah pemakai perpustakaan digital yang mengunduh koleksinya).
c.       Tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
Perpustakaan digital dapat diakses dari mana saja dan kapan saja dengan catatan ada jaringan komputer (computer internetworking) sehingga antara komputer server dimana koleksi perpustakaan digital tersimpan dapat berhubungan dengan komputer pengguna (client). Selain jaringan tentu saja ada syarat lainnya seperti arus listrik (power) sehingga masing-masing komputer yang akan berhubungan tersebut dapat ”bekerja”. Sementara itu, perpustakaan konvensional hanya bisa diakses jika orang tersebut datang secara fisik ke perpustakaan pada saat perpustakaan membuka layanan. Jika pemakai perpustakaan bisa datang ke lokasi perpusakaan, namun mereka datang pada saat yang tidak tepat, misalnya pada jam-jam dimana perpustakaan sudah ditutup maka orang yang datang tersebut tetap tidak dapat mengakses dan menggunakan koleksi perpustakaan. Sebaliknya, walaupun perpustakaan sedang buka namun karena sesuatu hal (misalnya jarak yang jauh antara pemakai dengan perpustakaan) sehingga pemakai berhalangan atau tidak bisa datang ke perpustakaan maka pemakai tersebut tidak dapat mengakses atau menggunakan perpustakaan.
d.      Koleksi dapat berbentuk multimedia
Koleksi perpustakaan digital tidak hanya koleksi yang bersifat teks saja atau gambar saja. Koleksi perpustakaan digital dapat berbentuk kombinasi antara teks gambar, dan suara. Bahkan koleksi perpustakaan digital dapat menyimpan dokumen yang hanya bersifat gambar bergerak dan suara (film) yang tidak mungkin digantikan dengan bentuk teks. Pada beberapa dokumen digital seperti Encarta Encylopedia menyajikan kombinasi teks, gambar serta suara sekaligus. Pembaca disuguhi bacaan berupa teks yang menjelaskan suatu persoalan. Jika pembaca tidak mengerti penjelasan dari teks tersebut atau menginginkan informasi yang tidak mungkin ditampilkan oleh teks, maka pembaca dapat menampilkan gambar bergerak yang dilengkapi dengan suara (misalnya, bagaimana proses telur menetas sampai anak ayam keluar dari cangkang telur).
e.      Biaya lebih murah
Secara relatif dapat dikatakan bahwa biaya untuk dokumen digital termasuk murah. Mungkin memang tidak sepenuhnya benar. Untuk memproduksi sebuah e-book mungkin perlu biaya yang cukup besar. Namun, bila melihat sifat e-book yang bisa digandakan dengan jumlah yang tidak terbatas dan dengan biaya sangat murah, mungkin kita akan menyimpulkan bahwa dokumen elektronik tersebut biayanya sangat murah. Belum lagi jika diperhitungkan biaya distribusi dari dokumen digital dibandingkan dengan dokumen konvensional maka pengiriman dokumen digital akan ribuan kali lebih murah dibandingkan dengan biaya distribusi dokumen digital.


DAFTAR PUSTAKA

Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital : Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta : Citra Karya Mandiri.


Saleh, Abdul Rahman. 2014. Modul Pengembangan Perpustakaan Digital. Tangerang : Universitas Terbuka.